Usaha Perkebunan orang Eropa tidak hanya banyak di daerah Deli, mereka juga merambah ke daerah Sumatra timur lainnya termasuk daerah Langkat. Pada periode tahun 1920-1930-an permintaan untuk komoditi industri karet dan minyak meningkat, hal ini mengakibatkan naiknya harga karet dan minyak saat itu. Dengan otomatis maka Sultan Langkat yang memegang konsesi tanah menjadi sangat kaya dari usaha kerjasama (kontrak) dengan perkebunan milik orang Eropa. Kilang minyak di Pangkalan Brandan menjadi salah satu penyumbang terbesar untuk pemasukan bagi Sultan Langkat.
Gambar diatas ialah Istana kesultanan Langkat di Tanjung pura yang pernah dijarah oleh rakyat sewaktu berkecamuk revolusi sosial (1945-1946) di Sumatra timur. Pada tahun 1946 keadaan suhu politik di Sumatra timur sempat memanas, orang-orang Komunis mulai menguasai partai politik dan juga membentuk laskar bersenjata diantaranya Laskar Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan Laskar Buruh. Secara sembunyi kaum komunis sudah mempersiapkan rencana untuk menghapuskan monarki kerajaan Melayu dan ingin mengambil alih pemerintahan kerajaan. Mereka kemudian membuat propaganda di koran-koran, radio dan pamflet serta isu-isu fitnah palsu untuk menghasut rakyat. Kaum komunis menghembuskan isu bahwa Raja-Raja Melayu itu sudah bekerjasama dengan Belanda dan mereka adalah kaum Feodal yang memeras dan menindas rakyat.
Tanpa diduga pada tanggal 3 Maret 1946, tepat jam 12 malam secara serentak rakyat dipimpin oleh orang-orang komunis dan Pesindo menyerbu istana dan kantor kerajaan Melayu dan mengumumkan bahwa kerajaan Melayu telah dihapuskan oleh rakyat Indonesia. Mulailah rumah dan istana-istana kerajaan diserang, dijarah hartanya, Raja, atau Sultan beserta para bangsawan juga pegawai kerajaan ditangkap dan sebagian dibunuh di tengah hutan atau dibenamkan di laut. Sultan Deli di Medan minta perlindungan dari British Indian Forces, Istana Maimun dikepung dan keluarga Sultan sempat melarikan diri berenang ke hutan untuk bersembunyi. Istana Maimun menjadi sasaran mereka, siang dan malam mereka menembaki istana. Sultan Deli kemudian mengungsi dengan keluarganya ke Perak (Malaysia).
Di tempat lain, istana Sultan Langkat baik yang di Tanjung Pura maupun yang di kota Binjei diserbu dan dirampok. Para bangsawan Langkat ditangkap dan sebagian besar dibunuh dengan kejam termasuk pujangga besar Tengku Amir Hamzah juga puteri-puteri Sultan Langkat diperkosa di depan mata beliau. Tengku-tengku di Asahan yang laki-laki semua dibunuh termasuk isteri Tengku Musa dan anaknya. Di kesultanan Serdang, karena Sultan Sulaiman Shariful Alamshah sejak dahulu terkenal anti-kolonialisme Belanda dan juga banyak keluarga kesultanan yang duduk di dalam partai politik dan menjadi TNI, kaum komunis hanya dapat mengerahkan rakyat untuk berbaris demonstrasi meminta agar kerajaan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan lokal kepada pemerintah R.I.
Demikian sekilas tentang revolusi sosial yang dikutip dari tulisan Tengku Luckman Sinar, Sejarawan Melayu.
BAU SERAI BAU KEMANGI
.
Rizal Nurdin juga merupakan gubernur Sumut.Sebelum menjadi Gubernur, dia adalah Pangdam I Bukit Barisan tahun 1997, dengan Pangkat Mayor Jenderal. Walau lahir di Sumatera Barat, namun ia adalah seorang suku Melayu Serdang.Ia meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat Mandala Airlines pada 5 September 2005 di Medan. Saat itu ia sedang berada dalam perjalanan untuk menghadiri rapat mendadak dengan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pada malam harinya. Tengku Rizal Nurdin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputra oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 9 November 2005 dalam kaitannya dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005.
Hj. ROSMALINA. Lahir tahun 1937, Putri dari OK Achmad Rasjid, seorang turunan Datuk Buddin dari Langkat yang dipercayai Raja Siantar untuk menjadi Hoofd Penghulu di Bandartinggi. Menempuh pendidikan formal Sekolah Guru Atas (SGA) & Kursus Memasak. Beliau adalah pakar kuliner Melayu. Hj. Rosmalina yang bermukim di Tebingtinggi ini merupakan penggagas terbentuknya Himpunan Wanita Melayu Indonesia (HWMI) di Kota Tebingtinggi & diberi mandat pembentukan oleh Ny Raja Sahnan. HWMI adalah organisasi wanita Melayu di tubuh MABMI. Hj Rosmalina melestarikan kuliner asli Melayu, misalnya juadah Halua. Berbagai jenis Halua langka, seperti buku bemban, tebukan asli dan sebagainya, ia ajarkan keseluruh pelosok negeri. Selain masakan Melayu, Hj Rosmalina juga mengembangkan budaya tutur Melayu.
.
Selain memenangkan sayembara penulisan karya sastra, berupa naskah drama serta skenario sinetron, sebagai wartawan ia berulangkali pula memenangkan lomba karya tulis. jurnalistik untuk tingkat nasional.
TENGKU M LAH HUSNI. Sejarahwan & Budayawan Melayu, Penulis buku Melayu.
Dr. Phil. ICHWAN AZHARI. Antropolog Universitas Negeri Medan, Dr Phil Ichwan Azhari lahir di Medan, 16 November 1961. Beliau juga seorang Budayawan dan Sejarawan Sumatera Utara. Aktif Diberbagai Kegiatan Yang Menyangkut Sejarah, Budaya,ikut serta dalam pelestarian Situs - situs Sejarah dan Budaya.
Diposkan oleh M MUHAR OMTATOK ber-Puak Melayu di 10:09 0 komentar Link ke posting ini
Kamis, 06 Agustus 2009
Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur
Tulisan ini berisi informasi tentang pertumbuhan 23 Kerajaan Melayu di Sumatera Timur dan Riau, baik yang kecil maupun yang besar. Dari sejarah kerajaan-kerajaan tersebut dapat dilihat terjadinya interaksi antarkerajaan, tentang nilai-nilai budayanya, dan tentang konsep politiknya. Informasi ini dapat dijadikan bahan untuk memetik potensi-potensi yang ada maupun mengetahui kelemahan-kelemahan yang membuat kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran.
Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur
Tulisan ini berisi informasi tentang pertumbuhan 23 Kerajaan Melayu di Sumatera Timur dan Riau, baik yang kecil maupun yang besar. Dari sejarah kerajaan-kerajaan tersebut dapat dilihat terjadinya interaksi antarkerajaan, tentang nilai-nilai budayanya, dan tentang konsep politiknya. Informasi ini dapat dijadikan bahan untuk memetik potensi-potensi yang ada maupun mengetahui kelemahan-kelemahan yang membuat kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran.1. Pendahuluan
Ruang lingkup pembahasan makalah ini adalah Karesidenan Sumatera Timur (Residentie Oostkust van Sumatera) yang lepas dari Residensi Riau pada tahun 1873. Meskipun ruang lingkup ini sempit, namun Kerajaan Melayu yang akan disinggung cukup banyak, karena wilayah Karesidenan Sumatera Timur sebelum 1 Januari 1940 juga meliputi Kerajaan Siak, Pelalawan, Gunung Sahilan, Kepenuhan, Kunto Darussalam, Rokan IV Koto, Kampar Kiri, Rambah, Sengingi, Logas, dan Tambusai. Wilayah Kerajaan Melayu mulai dari Siak ke selatan. Pada tahun 1940 Kerajaan Melayu dipisahkan dari wilayah Karesidenan Sumatera Timur dan menjadi wilayah Kerajaan Melayu Riau. Oleh karena itu, pembatasan pembahasan Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur hanya sampai pada masa sebelum datangnya Jepang, yaitu sebelum tahun 1940.
Pada tahun 1915 kerajaan-kerajaan Melayu yang masuk wilayah Karesidenan Sumatera Timur menjadi wilayah Provinsi Sumatera Timur, dengan ibukota Medan. Empat Kerajaan Melayu di Temiang, yaitu Kerajaan Bendahara, Kerajaan Karang, Kerajaan Sutan Muda, dan Kerajaan Muda dikeluarkan dari Sumatera Timur dan dimasukkan ke wilayah Provinsi Aceh oleh Belanda pada tahun 1900.
Kerajaan besar yang berstatus kesultanan dengan Kontrak Politik adalah: 1) Deli; 2) Asahan; 3) Siak; 4) Serdang; 5) Langkat; 6) Kualuh; 7) Pelalawan, sedang kerajaan-kerajaan dengan Pernyataan Pendek (Korte Verklaring), adalah: 8) Billah; 9) Gunung Sahilan; l0) Kedatukan Indrapura (Batubara); 11) Kepenuhan; 12) Kunto Darussalam; 13) Kotapinang; 14) IV Kota Rokan Kiri; 15) Kedatukan Lima puluh (Batubara); 16) Logas; 17) Panai; 18) Kedatukan Pesisir (Batubara); 19) Rambah; 20) Singingi; 21) Kedatukan Suku Dua (Batubara); 22) Tambusai; 23) Kedatukan Tanah Datar (Batubara).
<b>2. Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua </b>
Kurun waktu berdiamnya orang-orang Melayu di wilayah pesisir bagian timur Sumatera sulit untuk dipastikan. Kita hanya mendengar bahwa pada masa lalu seorang raja dari India Selatan yang bernama Rajendra Cola Dewa I pada tahun 1011 M menyerang Sriwijaya dan negeri-negeri lainnya di Semenanjung Tanah Melayu dan di Sumatera. Penyerangan tokoh “Raja Sunan” ini diungkapkan dalam Sejarah Melayu (cerita ke-1).
Kerajaan-kerajaan Melayu yang termasuk tua adalah sebagai berikut
<b>a. Panai</b>
Dalam suatu inskripsi di Tanjore terdapat daftar nama-nama negeri yang ditaklukkan oleh “Raja Sunan”, di antaranya adalah Kerajaan Panai (with water in its bathing ghats, ‘lapang yang cukup diairi sungai-sungai‘). Pusat Kerajaan Panai purba terletak di antara aliran Sungai Barumun dan Sungai Panai. Di wilayah tersebut terdapat peninggalan candi Hindu aliran Tantrik Bhainawa. Candi dibangun pada masa setelah penyerangan Cola (1025 M) sampai dengan masa pendudukan Majapahit (1365 M), yang kemudian merebut Panai (lihat Negarakertagama). Meskipun biara-biara itu tidak meninggalkan nama raja-raja dan peristiwa sejarah, tetapi inskripsi yang ditemukan memakai tulisan Melayu kuno, seperti yang terdapat di dinding Candi Sitopayan, yang bertulisan “berbuat biyna” dan inskripsi Gunung Tua (1024 M) yang bertulisan “Juru Pandai suryyaberbwat bhatara lokanata”. Inskripsi ini menunjukkan bahwa penguasa yang memerintahkan pembuatan candi adalah orang Melayu, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Schnitger dalam bukunya The Forgotten Kingdoms in Sumatera.
<b>b. Haru </b>
Kerajaan Melayu tua lainnya adalah Kerajaan Haru atau Aru. Menurut kisah dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan dalam Sejarah Melayu, kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad. Keduanya merupakan rombongan dari Madinah dan Malabar, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudra Pasai, pada pertengahan abad ke-13. Marco Polo sempat bertemu Malikulsaleh yang terkenal dengan nama Merah Silu pada tahun 1292 M. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Haru setidak-tidaknya sudah Islam sejak akhir abad ke-13 M (Sinar, 1981b: 29–31).
Kerajaan Haru meliputi wilayah pesisir Sumatera Timur, yaitu dari batas Temiang sampai Sungai Rokan. Kerajaan ini sudah beberapa kali mengirim misi ke Tiongkok. Yang pertama di tahun 1282 M, pada zaman pemerintahan Kubilai Khan (Sinar, 1976). Hasil-hasil penggalian di kota Cina (Labuhan Deli) juga membuktikan bahwa wilayah itu merupakan wilayah ekonomi yang potensial untuk berdagang dengan Cina (Krisnon dan Sinar, 1974). Kerajaan Haru juga pernah ditaklukkan oleh Kertanegara dalam ekspedisi Pamalayu (1292). Dalam Pararaton ditulis “Haru yang bermusuhan”. Akan tetapi setelah itu Haru pulih kembali dan menjadi makmur, sebagaimana dicatat oleh orang Persia, Fadiunllan bin Abdul Kadir Rashiduddin dalam bukunya Jamiul Tawarikh pada tahun 1310 M. Haru kemudian ditaklukkan Majapahit (1365), seperti tertera dalam syair Negarakertagama seloka 13: 1. Selain itu, Haru (Harw) juga ditaklukkan Panai (Pane) dan Kompai (Kampe) di Teluk Haru. Dalam laporan Tiongkok abad ke-5 juga disebutkan bahwa Haru (kerajaan Islam) berkali-kali mengirim misi ke Cina (Ma Huan, 1451: 7919). Laporan-laporan Cina dan laporan-laporan Portugis menunjukkan bahwa pusat Kerajaan Haru berada di sekitar Sungai Deli. Di sana terdapat bendera Cina dan Medina (Medan), sebagaimana yang disebut oleh Laksamana Turki Ali dalam Al Muhit (Ferrand, 1914: 42).
Pada abad ke-15 Haru sudah menjadi kerajaan terbesar di Sumatera dan ingin menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka. Oleh karena itu, Haru menduduki Pasai dan menyerang Melaka berkali-kali, seperti disebut dalam Sejarah Melayu. Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran Kerajaan Haru setaraf dengan Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing menyebut dirinya “adinda”. Semua surat dari Haru yang datang ke Melaka harus disambut dengan upacara kebesaran negara. Kebesaran Haru juga diakui oleh Portugis (Ferrand, 1914: 484–541). Portugis berusaha menjalin persahabatan dengan Haru agar terjadi pertentangan dengan Pasai dan Melayu Melaka. Akan tetapi ketika bekas Sultan Melaka (Sultan Mahmudsyah I) diserang oleh Portugis di pengungsiannya di Bintan, Sultan Haru bersama Sultan Husin datang membantu Melaka. Oleh karena itu, Sultan Haru dinikahkan dengan putri sultan yang bernama Raja pada tahun 1520 M. Ribuan orang dari Johor dan Bintan berangkat mengiringi tuan putri kesayangan Sultan Mahmudsyah itu pindah ke Haru. Hal ini memperkuat proses Melayunisasi di Haru (Mills, 1925: 31–39). Kedatangan ratusan abdi Kraton Melayu dari Bintan mempercepat proses Melayunisasi di Haru. Hubungan mesra antara Haru dengan Imperium Melayu di Riau-Johor membawa malapetaka bagi kedua kerajaan, karena Imperium Aceh yang muncul kemudian merasa tersinggung.
Dalam Sejarah Melayu (cerita ke-24) disebutkan bahwa pada periode 1477-1488 M. Haru dipimpin oleh Maharaja diraja, Putra Sultak Sujak, “yang turun daripada Batak Hilir di kota Hulu, Batak Hulu, di kota Hilir”, atau mungkin saja kata “Batak” sengaja dihilangkan untuk menghindarkan anggapan penghinaan karena nama “Batak” menunjuk pada daerah pedalaman yang pada masa itu masih terbelakang dan belum Islam. Dengan kalimat itu dimaksudkan supaya daerah yang terletak di pesisir menjadi Melayu (masuk Melayu; masuk Islam). Adapun di antara nama pembesar-pembesar Haru yang disebut Sejarah Melayu, seperti nama Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat, merupakan nama yang mirip dengan nama-nama Karo. Di Hulu Deli ada daerah bernama Urung Serbayaman, yang merupakan nama salah satu Raja Urung Melayu di Deli yang berasal dari Karo.
<b>c. Siak</b>
Nama Siak sudah tercantum dalam Negarakertagama sebagai daerah yang ditaklukkan Majapahit pada tahun 1365 M. Pada mulanya Raja Siak mengaku sebagai keturunan Nila Pahlawan, saudara Nila Utama, yaitu makhluk yang turun di Bukit Siguntang Mahameru. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyursyah Akbar (1458–1477 M) di Melaka, kerajaan Siak diperintah seorang raja yang masih beragama Hindu bernama Maharaja Permaisura. Siak ditaklukkan oleh ekspedisi militer Melaka yang dikepalai oleh Khoja Baba yang berasal dari India dan bergelar Ichtiar Muluk.
Putra Maharaja Permaisura yang bernama Megat Kudu diislamkan dan dinikahkan dengan Raja Dewi, putri Raja Melaka, kemudian dinobatkan/ditabalkan sebagai Sultan Siak bergelar Sultan Ibrahim. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdullah dan bergelar Sultan Khoja Ahmadsyah. Sultan Ahmadsyah menggantikan ayahnya sebagai Raja Siak. Raja Abdullah berputra tiga orang, yaitu Raja Jamal, Biyazid, dan Raja Isap. Jamal dan Biyazid tinggal di Bintan. Biyazid kemudian bergelar Gocah Pahlawan, yang merupakan gelar Laksamana Khoja Bintan. Raja Isap kemudian bergelar Marhom Kasab dan menikah dengan Putri Fatimah, anak Sultan Mansursyah atau cucu Raja Sulong bin Raja Mahmud (Ahmad), yang merupakan cikal bakal dinasti Sultan Perak yang awalnya diangkat oleh Aceh.
Pada saat Melaka diperintah Sultan Alauddin Riayatsyah I, Raja Siak ingin melepaskan diri dari Melaka dengan cara menghukum mati seorang terpidana tanpa meminta izin Melaka. Mendengar kejadian ini Sultan Melaka mengirim Laksamana Hang Tuah yang kemudian menuding Bendahara Siak Tun Jana Pakibul di depan majelis sambil berkata, “Tuanku, nampak-nampaknya di sekeliling Tuanku, orang-orang tua yang tidak tahu adat, tidak ingat semua hukuman bunuh harus minta izin Melaka dahulu”. Raja Siak lalu meminta maaf.
<b>d. Rokan </b>
Rokan merupakan kerajaan Melayu tua yang terletak di Sumatera Timur. Dalam Sejarah Melayu disebutkan bahwa putra dan pengganti Sultan Maharaja Muhammadsyah Melaka bernama Raja Ibrahim yang sejak kecil dipengaruhi oleh nenek dari pihak ibu, yaitu Raja Rokan, sehingga ketika menjadi raja bergelar Sultan Sri Parameswara Dewa Syah (1445–1450 M). Ketika ia masih kecil pemerintahan dipangku oleh neneknya, Raja Rokan, yang konon bertindak sesuka hatinya sehingga dibenci Melaka. Saudara sultan bernama Raja Kasim. Dengan restu Bendahara, dia merebut tahta dan membunuh Sri Parameswara Dewa Syah dan neneknya. Setelah itu Bendahara memproklamasikan dirinya menjadi Raja Melaka dan bergelar Sultan Muzafansyah (1450–1458 M).
<b>e. Kampar</b>
Negeri lain di Sumatera Timur yang termasuk tua adalah Kampar. Kampar ditaklukkan oleh Melaka di bawah pimpinan Tun Mutahir dan harus menerima instruksi langsung dari Melaka. Kampar sangat strategis, karena merupakan jalur lalu lintas pengiriman emas dan lada dari Minangkabau. Dalam Sejarah Melayu diberitakan bahwa kakak Sultan Mahmudsyah Melaka, yaitu Sultan Munawarsyah, telah diangkat menjadi Raja Kampar pada tahun 1505 M. Dia kemudian mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdullah. Kampar yang dimaksudkan adalah Pelalawan yang kerajaannya berkedudukan di Pekan Tua. Pada mulanya yang menjadi raja adalah Maharaja Jaya yang beragama Hindu. Menurut legenda rakyat, negeri itu dulu didirikan oleh Maharaja Dinso (Fals, 1882).
Sultan Abdullah Kampar kemudian menjadi menantu Sultan Mahmudsyah Melaka. Walaupun menantu, dia tidak setia. Saat Portugis menyerang dan menguasai Melaka pada tahun 1511 M dan mertuanya menjadi buronan Portugis, Sultan Abdullah malah berbaikan dengan Portugis yang kemudian mengangkatnya sebagai Bendahara orang-orang asing di Melaka.
Sultan Mahmudsyah yang saat itu bersemayam di Bintan mengirim armada yang dikepalai menantunya yang lain, Raja Lingga, tetapi Kampar diselamatkan oleh armada Portugis di bawah pimpinan Jorge Botelho, dan langsung mengungsikan Abdullah ke Melaka. Kemudian Sultan Mahmudsyah menyebarkan kabar angin ke Melaka, seakan-akan Abdullah secara rahasia mempersiapkan pemberontakan terhadap Portugis. Mendengar berita ini orang Portugis curiga dan termakan kabar tersebut, sehingga Abdullah ditangkap dan dihukum gantung di Malaka. Kejadian ini membuktikan ketidaksetiaan Portugis dan merupakan tamsil bagi Gubernur Jenderal Belanda, Pieter Both seperti termuat dalam suratnya kepada Sultan Tidore tahun 1612 (Verhoeff, 1645). Sultan Mahmudsyah dikejar-kejar Portugis dari Bintan, sehingga ia harus bertahan di Kampar (Pelalawan) sampai mangkatnya pada tahun 1528 M (Marhum Kampar).
<u><i><b>3. Pertentangan Segi Tiga: Aceh, Portugis, Dan Imperium Melayu Riau-Johor </b></i></u>
Jatuhnya Imperium Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 berpangkal dari kelemahan-kelemahan dalam negeri sendiri. Raja-raja Melaka yang menyerahkan urusan perdagangan ke tangan orang-orang asing tetap menerapkan pajak yang tinggi, sehingga pedagang-pedagang asing mendekati Portugis. Administrasi pemerintahan raja yang lemah menimbulkan perebutan kekuasaan, padahal persenjataan dan taktik perang yang dimiliki juga lemah. Tentara Portugis yang kurang dari dua ribu orang dapat mengalahkan puluhan ribu laskar Melaka dan merampas lebih dari dua ribu pucuk meriam. Dengan mangkatnya Raja Melaka terakhir, Sultan Mahmudsyah Marhum Kampar, timbul situasi politik baru, terutama pada masa pemerintahan Sultan Alauddinsyah (1537-1568). Di bagian Utara juga timbul kekuatan baru, yaitu Aceh.
Sultan Aceh dengan bantuan ahli-ahli militer Turki dan India mulai menyerang benteng Portugis di Melaka dan menyerang Haru. Menurut seorang warga Portugis, Ferdinand Mendes, yang menuliskan pengalamannya dalam Perigrinaao (Cogan, 1892: 28-77), penyerangan Al Qahhar ke Haru terjadi pada bulan November 1539. Menurut Mendes, Haru hanya dipertahankan oleh sebuah meriam besar yang dibeli di Panai dari orang Portugis. Benteng Haru dikepung selama tujuh belas hari, tetapi tidak dapat direbut. Akhirnya pasukan Aceh menyogok dengan uang emas, sehingga pasukan yang bertahan lengah dan benteng dapat direbut Aceh. Sultan Haru tewas, tetapi permaisurinya, Anchesin sempat lolos dan berlayar ke Melaka. Di Melaka rombongannya disambut dengan hormat, tetapi Portugis tidak menjanjikan bantuan apa-apa. Permaisuri Haru kemudian berangkat ke Bintan yang merupakan tempat kedudukan Sultan Riau-Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II. Sultan Alauddin Riayatsyah II merupakan putra dan pengganti Almarhum Sultan Mahmudsyah (Marhum Kampar). Permaisuri Haru kemudian diperistri Sultan Alauddin dengan syarat Haru dikembalikan. Sultan Alauddin kemudian membuat surat kepada Sultan Aceh Al Qahhar yang menuntut agar Haru dikembalikan kepada Imperium Melayu, sebab permaisuri Haru sudah menjadi istrinya.
Setelah menerima surat itu, Al Qahhar sangat murka. Ia kemudian mempersiapkan armada dan pasukan yang kuat untuk menyerang Imperium Melayu Riau-Johor, tetapi penyerangan itu didahului oleh balatentara Riau-Johor yang dipimpin oleh Laksamana dan berhasil merebut Haru pada tahun 1540. Pada tahun 1564, Al Qahhar membalas sakit hatinya dan merebut Johor Lama dalam penyerangan yang tiba-tiba. Al Qahhar juga menghukum mati Sultan Alauddin Riayatsyah II yang kemudian diberi gelar Marhum Syahid Mangkat Di Aceh. Sejak itu Aceh menempatkan putra-putra Sultan Aceh menjadi sultan di Haru. Haru kemudian disebut Gori atau Guri.
Pada masa pemerintahan Sultan Riayatsyah II (Saidi Mukammil) yang memerintah Aceh pada tahun 1589-1604, Haru (Guri) memberontak kembali. Pemberontakan Haru (Guri) kali ini dipimpin oleh seorang panglima yang diawasi Merah Silu. Dengan mengumpulkan pemimpin rakyat di gunung, mereka bermusyawarah dan berpaling dari Aceh, kemudian merajakan Sultan Riau-Johor sebagai Raja Haru (Guri).
Aceh beberapa kali mengirim gajah dan armada untuk menghancurkan pemberontakan itu dan sekaligus menyerang Johor. Meskipun Batusawar dapat dikepung oleh Aceh, tetapi di pihak Aceh terjadi banyak korban. Benteng tidak dapat direbut dan pasukan Aceh kehabisan bahan makanan, sehingga Aceh terpaksa mundur kembali. Haru berpaling ke Johor pada tahun 1599. Kejadian ini juga disebutkan oleh seorang warga Inggris, John Davis, ketika berada di Aceh (Purchas, I: 123).
Pada akhir abad ke-16, nama Haru (Guri) hilang dan timbul nama Deli dengan ibukota Deli Tua. Sementara itu, di Aceh naik seorang raja bernama Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Pada tahun 1612 dia menaklukkan Deli dengan pasukan seratus ekor gajah perang dan dengan sistem lubang-lubang pertahanan. Dalam Hikayat Aceh disebutkan kisah Sultan Alauddin Riayatsyah Saidi Mukammil yang meramalkan tentang cucunya, Sultan Iskandar Muda. Sabda Syah Alam: “Cucuku inilah bernama Muhammad Hanafiah, yang pada akhir zaman mengalahkan Deli dan menangkap Merah Silu dan berhamba Raja Johor dan segala raja-raja Melayu dan mengalahkan segala raja-raja yang tiada mau tunduk ke Aceh”. Dengan demikian jelas bahwa Deli sama dengan Haru (Guri) yang memberontak Pasai pimpinan Merah Silu. Sultan Iskandar Muda sangat bangga dapat menaklukkan Deli (bekas Haru) yang sulit ditundukkan oleh raja-raja Aceh sebelumnya. Hal ini diungkapkan dalam suratnya kepada King James dari Inggris (Shellebear, 1898: 125–127).
Nama Deli kemungkinan berasal dari bahasa Karo “Deling” yang berarti gunung, karena ibukota Deli Tua berada di pinggir Sungai Petani yang merupakan batas wilayah Melayu dengan Karo. Di wilayah ini dikenal Hikayat Puteri Hijau yang erat hubungannya dengan penyerangan Sultan Aceh Al Qahhar ke Haru pada tahun 1539.
Hikayat Putri Hijau seperti yang dikisahkan oleh Mendes adalah sebagai berikut. “Di hulu Sungai Petani (di hilir bermuara Sungai Deli) terdapat kampung Siberraya. Di sana lahir Putri Hijau yang cantik bersama saudara kembarnya, seekor naga (ular Simangombus) dan sebuah meriam (Meriam Puntung). Karena rakyat tidak sanggup lagi memenuhi bahan makanan, rakyat di sana lalu pindah ke hilir dan membuat benteng di Deli Tua. Negeri itu menjadi makmur dan berita kemakmurannya tersebar ke Aceh. Sultan Aceh berkeinginan meminang Putri Hijau, tetapi ditolak sehingga terjadi peperangan. Aceh sudah berusaha keras untuk merebut benteng Deli Tua, tetapi belum berhasil. Oleh karena itu Aceh menyebarkan ribuan uang emas sehingga pasukan Deli yang bertahan di benteng lengah. Kesempatan ini digunakan Aceh untuk menyerbu dan menduduki benteng. Hanya sang Meriam saja yang terus menembak, sehingga sang Meriam menjadi panas dan moncongnya putus, kemudian jatuh di Kampung Sukamalu (sisanya tersimpan di halaman Istana Maimon Medan). Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu sang Naga kemudian menggendong Putri Hijau dan menyelamatkannya melalui sebuah terusan (Jl. Puteri Hijau Medan sekarang) dan memasuki Sungai Deli dan akhirnya sampai di Selat Melaka. Menurut legenda, mereka kini berdiam di bawah laut dekat Pulau Berhala” (Middendorp, BGKW II: 164). Dari uraian ini terlihat bahwa titik hubungan antara putri, meriam, dan muslihat dengan uang emas dan naga sebenarnya adalah perahu yang berkepala naga.
Sultan Iskandar Muda berhasil merebut hampir semua negeri di Semenanjung Melaka, di pantai Barat dan Timur Sumatera pada tahun 1624. Indragiri dan Jambi menjadi terancam. Kerajaan Gasib yang terletak di Sungai Gasib (salah satu cabang Sungai Siak) mempunyai wilayah yang meliputi daerah Tapung sampai Bukit Seligi dan Bukit Langa. Kerajaan ini juga dihancurkan oleh bala tentara Aceh dengan bantuan orang Pandan dengan cara membuat terusan yang sekarang dikenal dengan Sungai Buatan. Selanjutnya negeri ini ditaklukkan Johor dengan menempatkan seorang pembesar di Bintan (Schedel, 1885: 218–235).
Mangkatnya Sultan Iskandar Muda menyebabkan ekspansi Aceh mulai mengendur, sehingga peluang bagi Belanda untuk merebut Malaka terbuka, dan ini terbukti dengan jatuhnya Melaka pada tahun 1641.
4. Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
Pada abad ke-17 sukubangsa Karo (Karo Jahe) turun ke wilayah pesisir dan mendirikan urung (negeri) di Langkat, Deli, dan Serdang. Dalam kurun ini juga lahir beberapa kerajaan kecil di pesisir Sumatera Timur.
a. Deli dan Serdang
Salah seorang panglima Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan. Ia menjadi Wali Negara di Deli. Panglima Khoja Bintan berusaha meningkatkan wibawanya untuk memperlancar proses Islamisasi (Melayunisasi) dengan jalan mendekati empat raja urung di Deli yang berasal dari Karo dan beragama Islam. Ia juga menikah dengan adik Datuk Sunggai, yaitu raja urung yang terkuat pada masa itu. Sebagai hadiah pernikahan, ia diangkat sebagai Panglima Kerajaan Bintan kawasan pesisir Deli dan berdudukan sebagai wakil Aceh. Ia menjadi primus inter pares di antara raja-raja itu. Pada masa pemerintahan putranya, Tuanku Panglima Perunggit, Aceh menjadi lemah, terutama sejak pemerintahan dipegang oleh raja-raja wanita (mungkin mengikuti jejak negeri-negeri di Sumatera Barat). Kesempatan ini digunakan Deli untuk memproklamasikan kemerdekaannya dari Aceh pada tahun 1699 (Sinar, 1980a). Kemudian Deli berhubungan dengan VOC di Betawi dan Melaka.
Pada zaman pemerintahan putra Perunggit, yaitu Tuanku Panglima Paderap, pada awal abad ke-18 terdapat ancaman dari Siak. Pemerintahan Imperium Melayu Riau-Johor mulai lemah di bawah kekuasaan Sultan Mahmudsyah II yang terbunuh pada tahun 1699 (dan diberi gelar Marhum Mangkat Di Julang). Sejak itu Bendahara Tun Habib Amudi Nadji menjadi raja Johor dan keturunan raja-raja Melaka putus. Peristiwa ini menimbulkan kekacauan yang lebih besar, terutama dengan munculnya Raja Kecil dari Minangkabau melalui Siak yang mengaku dirinya sebagai putra Marhum Mangkat Di Julang. Dia berhasil merebut ibukota Johor dan memproklamasikan dirinya dengan gelar Sultan Djalil Rahmatsyah pada 21 Maret 1717.
Dengan meninggalnya Panglima Paderap di Deli, terjadi perang saudara di antara ke-4 putranya, sehingga putra mahkota (bungsu) terpaksa mengungsi ke wilayah Serdang dan mendirikan Kerajaan Serdang pada tahun 1720, sedangkan kakaknya, Panglima Gandar Wahid menjadi raja di Deli. Saat pemerintahan putra Gandar Wahid, yaitu Tuanku Amal, Siak menaklukkan Deli (1780), kemudian Amal diangkat menjadi Sultan Panglima Mangedar Alam Deli dengan akta Sultan Siak tertanggal 8 Maret 1814. Sultan Amal pernah ditemui John Anderson yang berkunjung ke Deli pada tahun 1823 (Edinburgh, 1826: 305–306; Sinar, 1970a: 33–47).
Di Serdang, keturunan Tuanku Umar Kejeruan Junjungan melebarkan wilayahnya ke Denai, Perbaungan, Serbajadi, Percut, Padang, Bedagai, dan Senembah, sampai ke pegunungan yang dihuni orang Karo dan Simalungun. Pada zaman cucunya, Sultan Thaf Sinar Basyarsyah (1790–1850), Serdang merupakan kerajaan yang makmur dan tenteram, seperti kesan John Anderson ketika berkunjung ke wilayah tersebut, pada tahun 1823.
b. Langkat
Kerajaan Langkat didirikan oleh Dewa Syahdan yang konon datang dari arah pantai dan naik ke gunung, dan kemudian diangkat menjadi anak boru Raja Karo Sibayak Kuta Buluh. Dari sana ia kembali ke Deli Tua. Putranya bernama Dewa Sakti dan bergelar Kejeruan Hitam. Putra Dewa Sakti, Marhom Guri, dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak (bekas wilayah Guri). Nama itu menunjukkan keterkaitannya dengan Kerajaan Haru (Guri) yang terletak di sekitar wilayah ini. Adik perempuan Dewa Sakti juga bernama Putri Hijau. Keduanya hilang dan tidak diketahui rimbanya.
Pada pertengahan abad ke-18, putra Raja Kahar yang bernama Baduzzaman berhasil memperluas Kerajaan Langkat. Raja Baduzzaman mempunyai empat putra, yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Raja Wan Jabar (Selesai), Raja Syakban (Pungai), dan Raja Indera Bungsu yang berdiam di Kota Dalam. Keempatnya memerintah dengan otonomi luas di bawah pimpinan Kejeruan Tuah Hitam sampai abad ke-19.
Sejak tahun 1780 Langkat sudah diduduki Siak. Untuk menjamin kesetiaannya, putra Kerajaan Hitam yang bernama Nobatsyah dan putra Indra Bungsu yang bernama Raja Ahmad dibawa ke Siak dan masing-masing dinikahkan dengan putri Siak, yaitu Tengku Fatimah dan Tengku Kanah. Raja Ahmad mempunyai seorang putra yang bernama Tengku Musa. Pada awal abad ke-19 Nobatsyah dan Raja Ahmad kembali ke Langkat untuk memegang pemerintahan dan masing-masing bergelar Raja Bendahara Kejeruan Jepura Bilad Jentera Malai dan Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat. Menurut John Anderson yang melawat ke Langkat pada 1823, beberapa tahun kemudian terjadi perang saudara di antara mereka. Kedua raja itu tewas terkena racun. Raja Langkat digantikan oleh Tengku Pangeran Musa dari Siak.
c. Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai.
Raja-raja Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai mempunyai hubungan keluarga. Menurut cerita, Batara Sinomba dari Minangkabau menikah dengan adiknya sendiri (mungkin maksudnya satu marga, yaitu Nasution). Batara Sinomba dan istrinya diusir dan sampai di Tapanuli Selatan. Suami istri tersebut menetap di Pinang Awan, dekat Sungai Barumun. Batara Sinomba dirajakan di Air Merah. Mereka kemudian mempunyai dua putra dan seorang putri yang bernama Siti Onggu.
Batara Sinomba menikah lagi dan istri mudanya berkeinginan agar putranya ditunjuk sebagai pengganti ayahnya. Oleh karena itu, istri kedua berusaha mengusir putra Batara Sinomba dari istri pertama. Usahanya berhasil. Dua putra Batara Sinomba dari istri pertama dendam dan menemui rombongan Sultan Aceh yang kebetulan lewat di situ. Tentara Aceh tersebut ternyata mempunyai masalah dengan Batara Sinomba, sehingga akhirnya Batara Sinomba terbunuh, kemudian diberi gelar Marhum Mangkat Di Jambu.
Siti Onggu dibawa orang Aceh dan diperistri Sultan Aceh. Lama-kelamaan putra Batara Sinomba dari istri pertama rindu dan ingin mengetahui nasib Siti Onggu. Oleh karena itu, mereka pergi ke Asahan menemui Haro-haro yang pandai mengadu ayam. Mereka bertiga pergi ke Aceh untuk menebus Siti Onggu. Sultan Aceh mengajak mereka untuk mengadu ayam. Ayam Sultan kalah dalam pertandingan dan terpaksa melepaskan Siti Onggu yang sedang hamil tua. Siti Onggu boleh dibawa pulang dengan syarat apabila bayi yang lahir laki-laki harus menjadi raja di Asahan. Setelah mereka kembali, Siti Onggu melahirkan seorang putra yang kemudian dirajakan di Asahan dengan gelar Sultan Abdul Jalil (Marhum Mangkat Di Tangkahan Sitarak).
Selanjutnya Siti Onggu menikah dengan Haro-haro. Setelah masuk Islam, Haro-haro bernama Raja Bolon. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdul Karim, yang disebut bangsawan Bahu Kanan. Haro-haro menikah lagi dengan putri Raja Siman Golong dan memperoleh dua putra, masing-masing bernama Abdul Samad dan Abdul Kahar. Keturunan mereka disebut bangsawan Bahu Kiri.
Cicit Sultan Asahan yang bernama Sultan Abdul Jalil II pernah membantu Raja Ismail dalam merebut tahta Siak dari tangan Raja Alam (1771). Setelah berhasil, maka Siak memberinya gelar “Yang Dipertuan”. Berdasarkan gelar ini, Sultan Yahya dari Siak dalam suratnya kepada Gubernur Belanda di Melaka pada tahun 1791 menyebutkan bahwa Asahan adalah jajahannya dan ini ditentang oleh Asahan sendiri.
Cucu Sultan Abdul Jalil II adalah Raja Musa dan Raja Ali. Raja Musa menjadi raja di Asahan. Ketika Raja Musa mangkat, putranya masih dalam kandungan. Oleh karena itu pemerintahan digantikan oleh adiknya, Raja Ali. Raja Ali mempunyai seorang putra yang bernama Husin dan seorang putri yang bernama Raja Siti. Raja Siti menikah dengan Sultan Deli dengan mas kawin daerah Bedagai, dan putra yang lahir dari pernikahan tersebut harus menjadi raja di Bedagai.
Sultan Musa mempunyai putra bernama Raja Ishak. Ketika Sultan Musa mangkat, di Asahan pecah perang saudara antara Raja Husin (putra Sultan Ali) dengan Raja Ishak (putra Sultan Musa). Situasi ini ditemui John Anderson ketika ia berkunjung ke Asahan pada tahun 1823. Perang saudara itu diakhiri dengan perdamaian. Dalam perdamaian ditetapkan bahwa Raja Husin menjadi sultan dan Raja Ishak menjadi Rajamuda Asahan merangkap Raja Kualuh-Leidong.
Pada tahun 1835, Sultan Ismail dari Siak menyerang Asahan. Angkatan perang Siak yang dipimpin oleh Tengku Panglima Besar berhasil menundukkan Asahan. Pengganti Sultan Husin adalah putranya, yaitu Sultan Ahmadsyah (1854). Sultan Ahmadsyah ini terkenal gigih dalam melawan Belanda dan akhirnya dibuang ke Ambon oleh Belanda pada tahun 1865.
Seperti sudah disinggung di atas, ketiga putra Marhum Mangkat Di Jambu yaitu Raja Indera, Raja Segar, dan Raja Awan masing-masing diberi kekuasaan dan wilayah sendiri. Raja Indera sebagai putra tertua menetap di Kumbul dan menjadi zuriat Raja Panai dan Raja Bilah. Raja Segar menetap di Sungai Tunas dan Raja Awan menjadi zuriat Raja-raja Kotapinang.
Ketika pasukan Siak ke Panai dan Bilah pada tahun 1835, raja-raja tersebut tunduk dan diharuskan membantu menyerang Asahan. Akan tetapi Panai membantu setengah hati, sehingga serangan Siak gagal. Namun, tentara Siak sempat masuk ke Panai dan Raja Sultan Mangedar Alam lari ke Kotapinang. Raja Kotapinang, Sultan Busu, berikrar dengan Raja Panai menentang Siak, tetapi ternyata Kotapinang ingkar janji, sehingga Panai terpaksa meminta ampun dan membayar upeti sebesar $2.000 pada Siak.
5. Negeri-Negeri Di Batubara
Pada tahun 1717 Raja Kecil meresmikan Pemerintahan Suku di Batubara. Penduduknya adalah pendatang dari Minangkabau, tetapi adat yang matriarchat diganti dengan adat Melayu pesisir yang parental. Kenyataannya, pembagian empat suku di Batubara hanya sebagai pembagian teritorial saja. Pada mulanya ada empat suku, tetapi kemudian bertambah satu hingga berjumlah lima suku, yaitu Suku Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Limapuluh, dan Boga. Masing-masing daerah dikepalai seorang datuk yang dikoordinir oleh seorang bendahara dari Siak. Datuk kepala suku membentuk dewan. Dewan ini memilih anggota suku untuk jabatan seorang syahbandar yang dipilih dari Suku Tanah Datar; seorang jurutulis, yang dipilih dari Suku Limapuluh; seorang mata-mata yang dipilih dari Suku Lima Laras; dan seorang mengulu batang, yang dipilih dari Suku Pesisir.
Dewan ini sekaligus sebagai wadah untuk saling mengawasi. Sistem pemerintahan di Batubara mengandung unsurunsur demokrasi. Setiap datuk suku dipilih oleh para Tungkat (kepala kampung) dari turunan datuk yang cukup memenuhi syarat. Para Tungkat pun dipilih oleh para tetua kampung.
Di wilayah Suku Boga ada dua orang yang memperebutkan kedudukan, yaitu Datuk Tumenggung dan Datuk Indra Muda. Datuk Tumenggung memperoleh cap (regalia) dari Siak dan Datuk lndra Muda mendapat cap dari Tengku Besar Pelalawan. Kemudian Asahan ikut campur tangan dan mengusir kedua datuk tersebut dari Batubara. Negeri-negeri yang berada di Batubara adalah sebagai berikut.
a. Siak
Pada tahun 1717 Raja Kecil Siak berhasil menduduki singgasana Imperium Melayu Riau-Johor dengan jalan menurunkan Sultan Johor, Tun Habib Abdul Majid, ke jabatan semula yaitu menjadi bendahara. Putra Raja Sulaiman berhasil membuat sumpah setia untuk bekerja sama dengan empat daeng dari Bugis. Kemudian mereka berhasil mengenyahkan Raja Kecil yang berulang kali berusaha menghadapi orang Bugis, terakhir pada tahun 1737. Akan tetapi kerjasama Bugis-Melayu tidak selamanya berjalan mulus. Raja Sulaiman juga meminta bantuan kepada VOC dengan janji akan menyerahkan Siak kepada Belanda dengan akta tertanggal 14 Desember 1745. Bantuan VOC tersebut dimaksudkan untuk menertibkan Siak.
Sementara itu di Siak terjadi pertikaian antara dua putra Raja Kecil, yaitu Raja Alam dan Raja Muhammad. Raja Muhammad dibantu oleh VOC dengan menempatkan satu detasemen tentara di Pulau Guntung di bawah pimpinan Letnan Daniel Poppel pada bulan Maret 1755. Satu eskader Belanda dapat mengusir Raja Alam dan menempatkan Raja Muhammad sebagai Raja Siak. Akan tetapi Raja Muhammad tidak lama bersekutu dengan Belanda, karena Raja Muhammad merampas kapal Belanda di Selat Melaka. Dengan alasan bahwa Raja Muhammad mengepalai bajak laut, maka Belanda bekerja sama dengan Raja Alam mengusirnya. Akibat pengkhianatan Belanda ini Raja Muhammad menyerang Pulau Guntung dan berhasil membunuh semua detasemen Belanda pada tanggal 6 November 1759 (Netschen, 1870).
Raja Muhammad mangkat pada tahun 1760. Kesempatan ini dipergunakan Belanda untuk mengakui Raja Alam sebagai Raja Siak disertai dengan penandatanganan perjanjian pada tanggal 16 Januari 1761. Perjanjian itu menetapkan bahwa Belanda berhak memonopoli perdagangan untuk mengganti kerugian Belanda akibat peristiwa Pulau Guntung. Rakyat Siak dan orang-orang besarnya terus menentang Belanda, sehingga terjadi pertempuran antara Siak dengan Belanda. Akan tetapi perlawanan Siak dapat dipatahkan Belanda di Hamparan pada tanggal 17 Juni 1761. Raja Ismail, putra dan pengganti Raja Muhammad beserta keluarga dan pembesar Siak menyingkir ke Pelalawan, kemudian ke Langkat.
Raja Alam mangkat pada tahun 1766 dan digantikan oleh putranya, Sultan Muhammad Ali. Sementara itu Raja Ismail dan pengikutnya bermarkas di Sungai Rokan dan berulang kali menyerang Siak, tetapi tidak berhasil. Mereka baru berhasil pada bulan Agustus 1778. Muhammad Ali menyerah, kemudian diangkat menjadi Raja Muda Siak. Putra dan pengganti Sultan Ismail adalah Sultan Yahya (1781) yang masih di bawah umur, sehingga pemerintahan dipangku oleh Raja Muhammad Ali. Pada masa itu Siak mengirim tuan besar Habib Umar Assagaf untuk memperbarui perjanjian Siak dengan VOC di Melaka yang diresmikan pada tanggal 13 Februari 1783. Sultan Yahya merupakan orang yang lemah, sehingga di istana banyak terjadi intrik.
Salah seorang yang menentang Sultan Yahya adalah Said Ali, putra Said Usman. Ketika Mangkubumi Muhammad Ali meninggal, Said Ali makin berani dan merebut tahta Sultan Yahya dan bergelar Sultan Abdul Jalil Syaifuddin. Said Ali kemudian bersahabat dengan Belanda. Sultan Abdul Jalil Syaifuddin berhasil menegakkan kembali wibawa Siak terhadap beberapa negeri di Sumatera Timur. Saudaranya, Tengku Said Abdurrahman memerintah di Pelalawan, dan saudaranya yang lain, Tengku Busu alias Said Ahmad dijadikan Tengku Panglima dan penguasa di Tebing Tinggi.
Pada tahun 1818 Sultan Said Ali turun tahta dan menaikkan putranya, Said Ibrahim, menjadi Sultan Abdul Jalil Khaliluddin Syah. Sultan Ibrahim membuat kontrak dengan Mayor Faguar dan John Anderson pada tahun 1823.
Karena gila, Sultan Ibrahim diturunkan dari tahta pada tahun 1827 dan digantikan oleh putra Said Ahmad yang bernama Tengku Said Muhammad. Tengku Said Muhammad menikah dengan putri Sultan Ali yang bernama Tengku Mandak. Pernikahan dapat terlaksana berkat bantuan Tengku Besar Said Hasyim Pelalawan yang merangkap menjadi Raja Muda Siak, dengan perjanjian bahwa raja yang akan datang adalah Tengku Said Ismail, putra Sultan Said Muhammad.
Pada tahun 1840, Tengku Said Ismail menjadi Sultan Siak. Pemerintahannya ditandai dengan banyaknya negeri di Sumatera Timur yang diambil alih Aceh. Tiba-tiba kekuasaan Sultan Ismail direbut oleh iparnya, Tengku Uda (Do), dan kemudian oleh Raja Muda Tengku Putra, sehingga Sultan Ismail terpaksa meminta bantuan petualang Inggris, Wilson. Sementara itu Belanda mencoba ikut campur tangan di Siak dengan memaksakan Sultan Ismail menandatangani kontrak politik pada tahun 1858. Akibatnya Belanda semakin berkuasa di Siak.
b. Pelalawan (Kampar)
Dalam perjanjian tahun 1811 antara Siak dengan Pelalawan ditetapkan bahwa Kerajaan Pelalawan berdiri sendiri dan diperintah oleh seorang sultan yang disebut Tengku Besar Abdurrahman. Jika di Siak terjadi kekosongan pemerintahan, Tengku Besar Pelalawan yang merangkap Raja Muda Siak berhak menunjuk pengganti Raja Siak di antara keturunan Said Ali dan Tengku Busu.
Pada waktu Tengku Ismail berkuasa di Siak, putra tertua Said Abdurrahman, Said Hasyim menjadi Tengku Besar Pelalawan (1821). Said Hasyim meninggal dunia pada tahun 1844 tanpa keturunan, sehingga pemerintahan digantikan oleh adiknya, Said Hamid.
Pada masa selanjutnya terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi sultan. Adik-adik Said Hamid yang lain ingin menjadi sultan secara bergiliran, sedangkan Said Hamid menginginkan yang menjadi sultan adalah putranya, Tengku Kesuma Yudo. Keadaan ini mendorong Said Hamid berhubungan dengan Belanda dengan perantara Siak. Sebelum Belanda campur tangan, Said Hamid meninggal pada tahun 1865. Adiknya, Said Jaafar menjadi penggantinya dan pemerintahan sehari-hari berada di tangan adik bungsunya, Said Abubakar. Keadaan tersebut menimbulkan peselisihan lagi. Perselisihan berawal ketika Jaafar menginginkan penggantinya kelak adalah putranya, sedangkan Said Abubakar juga memiliki ambisi yang sama.
Pada tahun 1873 Said Jaafar meninggal dan digantikan oleh Said Abubakar. Pada tahun 1877 Said Abubakar berhubungan dengan Belanda dengan syarat putranya, Tengku Sentul, akan menjadi penggantinya. Belanda menyetujui persyaratan tersebut.
6. Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
Tambusai (Dalu-dalu) merupakan ibukota Rantau Binuang yang terletak di antara Sungai Sosa dan Batang Lubu. Raja negeri tersebut merupakan keturunan Sultan Iskandar Zulkarnaen. Penduduknya berbahasa Mandailing dan Minangkabau, tetapi menganut adat Melayu. Negeri-negeri di Rokan makmur karena merupakan tempat transit hasilhasil wilayah pedalaman Sumatera yang dijual ke Melaka, Singapura, Johor, dan Siak. Tidak berlebihan kalau di negeri ini banyak orang kaya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah. Di antara rombongan haji yang pulang terdapat Imam Maulana Kadhi dan putranya, Haji Muhammad Saleh.
Pada tahun 1820–1825 bergejolak paham Wahabi di Mekah yang bertujuan untuk memurnikan ajaran agama Islam. Paham Wahabi ini ingin dikembangkan oleh para haji yang kembali dari Mekah. Imam Maulana Kadhi dan Haji Muhammad Saleh berusaha mengembangkan paham Wahabi itu kepada murid-muridnya di pesantren. Haji Muhammad Saleh menekankan kepada Yang Dipertuan Rantau Binuang agar memerintahkan kepada rakyat untuk melaksanakan ajaran Islam sejati dan melarang adat lama yang bertentangan dengan agama. Pengaruh pembaharuan Islam yang disampaikan ini menyebabkan Haji Muhammad Saleh diusir. Dia kemudian mengembara sambil memperbanyak pengikut. Setelah merasa cukup kuat, dia kembali ke Tambusai. Yang Dipertuan Rantau Binuang lalu menyingkirkannya ke Tanah Putih (Siak). Keadaan ini menyebabkan Sultan Siak menuntut supaya Tambusai tunduk kepada Siak, karena rajanya berdiam di wilayah Siak.
Haji Muhammad Saleh kemudian bergelar Tuanku Tambusai dan oleh sementara pihak dijuluki “Si Baleo” (pembawa malapetaka). Gerakannya ditujukan ke daerah Kepenuhan, Rambah, Batang Lubu, daerah Rao, Ulu Barumun, dan Padang Lawas. Gerakan Tuanku Tambusai mendapat bantuan dari ulama lain, seperti Tuanku Rao. Gerakan Tuanku Rao sampai ke wilayah Toba Utara. Bahkan Tuanku Rao dianggap Si Pokki Nangolngolan, anak Ompu Palti. Ompu Palti adalah adik Sisingamangaraja X yang telah raib karena dianggap mau merebut tahta.
Meskipun jasa Tuanku Tambusai dalam pengislaman Tapanuli Selatan sangat besar, tetapi tidak sedikit kekejaman yang dibuat atas namanya dengan bantuan Raja Gadombang, Regent Mandailing. Hal ini membuat Belanda menyerangnya, terutama setelah perlawanan Tuanku Imam Bonjol dipatahkan. Dalam pertempuran hebat yang terjadi pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu dapat direbut Belanda tetapi Tuanku Tambusai selamat dari buruan Belanda. Sampai sekarang makamnya belum ditemukan. Ada yang menyebut bahwa Tuanku Tambusai sempat lolos dan menyeberang ke Malaya.
Pada masa itu juga Belanda memenuhi permohonan Kotapinang dan menempatkan satu detasemen tentaranya dengan membuat benteng di daerah pertemuan Sungai Panai dan Barumun, yaitu di Tanjong Ropiah. Benteng itu meresahkan Inggris. Benteng tersebut juga pernah diserang oleh rakyat dari arah laut.
7. Pertentangan Inggris-Belanda
Pada tanggal 1 Januari 1800, VOC bangkrut akibat korupsi dan kemudian dilikuidasi, sehingga kekayaannya jatuh ke tangan Belanda yang berbentuk bataafsche republiek. Pemerintahan Belanda dipegang oleh Napoleon dari Prancis. Pada masa itu Prancis sedang berperang dengan Inggris. Jajahan VOC di Nusantara sudah diambil alih Inggris, maka berdasarkan Konvensi London tanggal 14 Agustus 1814, semua jajahan Belanda harus dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda. Hal ini tidak menyenangkan hati Raffles (Gubernur Bengkulu dari Inggris dan bekas Letnan Gubernur Inggris di Jawa). Raffles memerintahkan Farcuhar mengadakan perjanjian dengan beberapa raja yang berkuasa di Pontianak, Riau, dan Siak. Belanda mendengar kegiatan Raffles tersebut dan membujuk Siak dengan membuat kontrak baru dengan Siak.
a. Traktat London 1824
Inggris dan Belanda berusaha menghindari perselisihan dengan perjanjian kerjasama dengan membagi daerah jajahan. Inggris menyerahkan Bengkulu dan Belanda menyerahkan Melaka dan Singapura kepada Inggris. Inggris dan Belanda berjanji tidak akan memperluas pengaruh ke masing-masing wilayah jajahan dan menghormati kedaulatan Aceh. Akibat desakan ekonomi, secara diam-diam mereka melanjutkan kegiatan sebelumnya, terutama ke pantai timur Sumatera. Untuk menghentikan pengaruh Belanda di Sumatera Timur, Inggris mendekati Aceh. Segala kesibukan Belanda dalam Perang Paderi di Tapanuli Selatan menimbulkan reaksi Inggris di Penang dan Singapura yang takut kehilangan keuntungan perdagangan. Kamar dagang Inggris mendesak pemerintahnya agar memprotes Belanda yang dianggap telah melanggar Pasal 6 Traktat 1824. Kesempatan itu dipergunakan Aceh untuk memperkokoh kekuasaannya di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur dengan mengirimkan perahu-perahu perang ke sana pada tahun 1854.
b. Kontrak Siak dengan Belanda, 1 Februari 1858
Kontrak Siak dengan Belanda ini berakibat sangat luas. Bukan saja Siak ditempatkan di bawah kedaulatan Hindia Belanda, tetapi juga termasuk negeri-negeri lain di Sumatera Timur yang menurut Siak adalah jajahannya, yaitu Bilah, Panai, Kualuh, Asahan, Batubara, Bedagai, Padang, Serdang, Perbaungan, Percut, Deli, Langkat, dan Temiang (Schedel, 1885: 73–77).
Atas dasar ini Siak meminta bantuan Belanda agar pemerintah Hindia Belanda mempertahankan wilayah-wilayah itu dari rongrongan Aceh. Dengan alasan ini pula Belanda mengirimkan ekspedisi militer pada tahun 1862 dan 1865. Pada bulan Mei 1859, Residen Riau menempatkan Walland selaku Asisten Residen Siak. Pada waktu itu, di Siak terjadi perselisihan antara raja dengan Tengku Putra, sehingga garnizun Belanda di Bengkalis dipindahkan ke Siak. Tengku Putra turun tahta dan dalam perjanjian tambahan yang ditandatangani tahun 1863 fungsi raja muda di Siak dihapuskan. Adik Sultan Siak, Tengku Syarif Kasim menjadi Tengku Panglima Besar.
Menurut laporan Walland, pemerintahan Siak kacau balau. Sebagian besar kepala suku dengan tujuh ribu orang rakyat pindah ke Malaya. Perdagangan hampir-hampir terhenti, sehingga tidak ada tongkang yang memadai yang singgah ke Siak. Hubungan politik dengan Lima Koto Kampar terputus.
8. Agresi Belanda Ke Sumatera Timur
a. Ekspedisi Militer Belanda I (1862)
Pada bulan Mei 1862 Belanda mengirim seorang pegawai tingginya yang bernama Raja Burhanuddin ke Sumatera Timur. Raja Burhanuddin adalah putra Raja Uyang bin Sultan Cagar Pagaruyung. Menurut laporan Raja Burhanuddin, beberapa negeri di Sumatera Timur bersedia dilindungi Belanda, kecuali Asahan dan beberapa negeri lainnya mereka menentang, bahkan di Asahan berkibar bendera Inggris.
Berdasarkan laporan Asisten Residen Riau, E. Netscher, Belanda mempersiapkan angkatan perang dari Bengkalis pada tanggal 2 Agustus 1862. Pembesar-pembesar Siak diikutsertakan untuk dikonfrontasikan dengan raja-raja di Sumatera Timur. Beberapa negeri seperti Panai, Bilah, dan Kotapinang berhasil ditundukkan. Sementara itu ekspedisi Belanda berhasil memasuki Kuala Serdang. Sultan Basyaruddin mencoba menemui ekspedisi itu dengan mengibarkan bendera Aceh dan bertindak selaku wazir Sultan Aceh atas dasar pengangkatannya dari Aceh. Perundingan antara Belanda dengan Sultan Basyaruddin dilakukan di kapal Belanda. Dengan paksaan Belanda, Sultan Basyaruddin menandatangani perjanjian yang ditetapkan tanpa ada kontrasain dari orang-orang besarnya. Perjanjian tersebut antara lain menyebutkan bahwa Belanda turut mengakui jajahan Serdang, yaitu Denai, Percut, Padang, Perbangunan, dan Bedagai.
Sultan Mahmud Deli menolak mengakui kedaulatan Siak atas Deli. Hal ini karena Siak tidak membantu Deli sejak masa pemerintahan ayahnya, Sultan Osman Deli, ketika diserang Aceh pada tahun 1854. Netscher berhasil menemukan jalan keluar sehingga Sultan Deli bersedia menandatangani pernyataan tunduk kepada Belanda dengan kalimat yang berbunyi “Mengikut pada negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gubernemen Belanda”. Perundingan itu berjalan lancar berkat usaha Said Abdullah bin Umar Bilsagih, ipar sultan.
Pangeran Langkat yang bernama Musa mendukung sepenuhnya kedaulatan Siak dan Belanda, bahkan Pangeran Umar meminta bantuan untuk menghantam Kejeruan Stabat Muhammad Syeh, yang bekerja sama dengan wakil Sultan Aceh, yaitu Tuanku Hasyim.
Inggris memperhatikan kegiatan Netscher di Sumatera Timur. Keadaan ini terbukti dengan munculnya kapal perang Inggris “Scout” di Deli atas perintah Gubernur Inggris di Singapura. Sementara itu kaum pedagang di Penang ribut memprotes kegiatan Belanda di Sumatera Timur. Akibatnya Netscher tidak berani memasuki Asahan dan hanya mengirim surat ancaman, kemudian segera pulang ke Bengkalis.
Pada awal tahun 1863 armada perahu perang dari Aceh yang dipimpin Cut Latief Meurude muncul di Kuala Langkat. Akan tetapi karena sungai tempat mereka berlabuh sudah diberi hempangan, maka mereka tidak bisa berlabuh. Lalu armada Aceh itu merapat ke Deli, dan di tempat itu patroli Belanda sudah menanti, sehingga mereka tidak berhasil mendarat. Di Serdang dan Asahan, orang-orang Aceh tersebut disambut baik. Orang Aceh juga mendapat sambutan baik dari Datuk Laksamana Putra Raja Negeri Serdang dan Lima Laras (Baturaja). Kegiatan Belanda kemudian dipusatkan di Deli. Di Deli berdiam pengusaha Nieuwenhuyze yang sejak 7 Juli 1863 membuka perkebunan tembakau. Residen Riau lalu mengirim surat ancaman kepada Sultan Asahan dan Sultan Serdang, tetapi utusan Belanda itu diusir. Dalam bulan April 1864 di Deli ditempatkan Kontrolir J. A. M. Van Cats Baron de Reet, L. de Scheemaker di Batubara, dan Vigelius di Kabupaten Batu.
b. Ekspedisi Militer Belanda II (1865)
Situasi di pesisir Sumatera Timur semakin panas dan tidak dapat dikendalikan lagi oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda mengirim ekspedisi militer yang cukup besar dan kuat untuk menundukkan negeri-negeri kecil di pesisir Sumatera Timur yang jumlah penduduknya tidak sampai lima ribu orang. Ekspedisi tersebut terdiri dari 1) setengah batalion infanteri dengan satu detasemen staf, dan totalnya berjumlah 406 orang; 2) kapal perang Djambi, Amsterdam, Sindoro, Mont Rado, Delfzijkjl, Dassoon, dan beberapa speedboat; dan 3) seribu marinir dengan 49 pucuk meriam berat.
Selaku penguasa sipil, Residen Netscher sendiri mendampingi ekspedisi. Dari sebuah sampan disita sepucuk surat Sultan Asahan yang ditujukan kepada Raja Kualuh dan Panai yang mengajak perang sabil dan menjanjikan bantuan Inggris. Surat itu ditutup dengan kalimat:
“Jika Sultan mau, makin besarlah kehendak beta akan mengadakan persetujuan bersama dengan kaum muslimin lainnya di mana beta bersedia memberikan sebanyak mungkin tenaga untuk perang sabil, karena memang sudah jadi tekad beta untuk bertempur.”
Oleh karena itu, Netscher buru-buru menyerang Asahan. Pasukan yang dipimpinnya mendarat di Batubara (menangkap Datuk Lima Laras) dan masuk ke Asahan melalui jalan darat, sedangkan armadanya menuju Tanjung Balai memudik Sungai Asahan. Ultimatum tanggal 18 September 1865 tidak diacuhkan Sultan Ahmadsyah. Ia bersama keluarga dan pasukannya mundur ke pedalaman bergabung dengan orang-orang Batak di bawah pimpinan Pak Netek. Pada tanggal 19 September 1865, Yam Tuan Muda tertangkap. Belanda mengeluarkan pengumuman untuk memecat Sultan Ahmadsyah dan menyerahkan pimpinan kerajaan kepada Raja Muda Naamatullah.
Ekspedisi Belanda lalu menyerang Serdang pada tanggal 30 September 1865. Akibatnya, pada tanggal 3 Oktober 1865 Sultan Basyaruddin dengan Raja Muda dapat ditahan Belanda ketika hendak mengungsi ke pedalaman. Sultan dipaksa meminta maaf dan sebagai hukumannya, wilayah Percut, Denai, Padang, Bedagal, dan Serdang diambil alih dan diberikan kepada Deli. Dari Serdang, Armada Belanda mengepung Pulau Kampai dan menghancurkan benteng Aceh pada tanggal 8 Oktober 1865. Temiang ditundukkan pada tanggal 12 Oktober 1865. Dari Langkat, Belanda membawa seorang tawanan, yaitu Kejuruan Stabat Sultan Mohammad Syeh yang melawan Pangeran Musa. Mohammad Syeh lalu diasingkan ke Betawi selama 20 tahun.
Perlawanan rakyat di Asahan semakin marak. Belanda kemudian mengumumkan Sultan Ahmadsyah dan keluarganya boleh masuk Tanjung Balai, tetapi hanya sebagai rakyat biasa. Tidak berapa lama kemudian Sultan Ahmadsyah, saudara-saudaranya, dan orang-orang besar yang bergerak di bawah tanah dan mengadakan korespondensi dengan Inggris terbongkar. Sultan Ahmadsyah beserta teman-temannya ditangkap dan dibuang ke Betawi, kemudian ke Ambon. Raja Muda Naamatullah dicopot dan dijadikan Raja Kualuh-Leidong oleh Belanda karena dianggap tidak becus, sedangkan pemerintahan Asahan dipegang oleh suatu dewan yang diketuai Kontrolir Asahan. Perlawanan rakyat di pedalaman yang dipimpin oleh Pak Netek semakin menggelora, sehingga akhirnya Belanda memutuskan untuk mengembalikan Sultan Ahmadsyah ke Asahan.
Kegiatan baru Belanda di Sumatera Timur ini bukan saja membuat gusar Aceh, tetapi juga mendapat protes dari Kamar Dagang Inggris di Penang dan Singapura. Masalah itu diakhiri dengan persetujuan baru antara Inggris dengan Belanda dalam Traktat Sumatera 1871. Dengan perjanjian itu, Inggris akan tutup mata atas segala tindakan Belanda dalam memperluas pengaruh di Sumatera, termasuk menyerang Aceh, asal Inggris diberi prioritas berdagang di Indonesia.
9. Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
Sejak kedatangan J. Nieuwenhuyze dari Burma dan Van Leeuwen dari Surabaya ke Deli pada tahun 1863, serta atas bujukan Said Abdullah Bilsagih, di Deli berkembang penanaman tembakau. Dengan suksesnya ekspor ke Eropa dan Amerika tembakau Deli menjadi termasyhur sebagai dekblad (lapis) cerutu yang tidak ada bandingannya di dunia. Di perkebunan, orang Melayu dan Karo tidak cocok menjadi kuli Belanda, sehingga Belanda mendatangkan orang Cina dan India dari Malaya. Kemajuan Deli sebagai het dollarland menyebabkan masuknya kapital asing ke Sumatera Timur. Sultan Deli memberikan tanah yang subur untuk konsesi perkebunan dengan bebas, termasuk tanah dalam wilayah Datuk Sunggal tanpa izinnya. Datuk Kecil sebagai pemangku Datuk Sunggal Badiuzzaman yang masih kecil, memimpin pemberontakan dengan mengajak rakyat Melayu dan Karo membangun benteng-benteng dan bergerak ke Deli untuk mengusir Belanda. Belanda kemudian mengirim pasukan dari Riau di bawah pimpinan Kapten Kops, tetapi ekspedisi pertama ini mengalami kerugian besar. Perkebunan tembakau Deli diserang gerilyawan, sehingga wanita dan anak-anak Eropa diungsikan ke Belawan untuk segera naik kapal bila situasi sangat buruk.
Pada tanggal 10 Juli 1872 datang ekspedisi militer kedua Belanda dari Jawa di bawah pimpinan Letkol Van Hambracht. Ekspedisi kedua yang bermaksud untuk menghancurkan gerilyawan tersebut pun mengalami kegagalan, bahkan Van Hambracht sendiri luka berat dan harus dipulangkan ke Betawi. Pada tanggal 20 September 1872, datang lagi ekspedisi militer ketiga dari Jawa dengan jumlah yang lebih besar, yaitu tiga kompi infanteri dengan satu detasemen artileri gunung, orang-orang kerja paksa, dan kuli Cina untuk mengangkat barang. Ekspedisi ini dikepalai Mayor Van Stuwe. Akibatnya, di mana-mana terjadi pertempuran hebat untuk merebut kampung-kampung, seperti Tanduk Benua, Katinambunan, dan lainnya. Dalam perundingan yang diadakan pada tanggal 24 Oktober 1872, Datuk Kecil bersama adiknya, Datuk Jalil, dan anaknya, Sulong Barat, tiba-tiba disekap Belanda dan dinaikkan ke kapal, kemudian dibawa ke Riau. Mereka dihukum seumur hidup di Cilacap. Datuk Sunggal Badiuzzaman melanjutkan perjuangan, tetapi juga tertangkap pada tahun 1855 dan dibuang seumur hidup ke Banyumas. Perang Sunggal (1872–1895) ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia di dalam negeri yang begitu kecil (Sinar, 1980; 1981e).
Sejak itu tidak ada halangan bagi kapital asing. Orang-orang asing berlomba menanamkan modal ke Sumatera Timur. Oleh karena sulit mendatangkan buruh Cina dan India ke Sumatera Timur, maka kuli kontrak didatangkan dari Jawa. Pertama kali mereka didatangkan dari daerah Bagelen. Kontrak-kontrak tanah dan hasil perkebunan yang diekspor merupakan sepertiga penghasilan seluruh Indonesia. Sepanjang jalan raya Labuhan-Medan penuh dengan rumah pelacuran dan rumah judi. Kuli yang baru gajian dalam sekejap mata bisa kehilangan gajinya, sehingga terpaksa menandatangani kontrak baru (Cremer, 1976: 184).
Oleh karena kemakmurannya, dalam waktu cepat Sumatera Timur banyak didatangi orang dari berbagai suku, terutama sukubangsa Toba, Mandailing, dan Minangkabau yang bekerja sebagai pegawai pemerintah, pegawai perkebunan, guru, dan pedagang kecil. Mereka kebanyakan menetap di kota-kota besar.
10. Sistem Pemerintahan Di Sumatera Timur
Dengan kemajuan yang pesat itu, pada tanggal 15 Mei 1873 wilayah Sumatera Timur, termasuk Siak dikeluarkan dari Provinsi Riau dan dijadikan residensi sendiri dengan ibukota Bengkalis. Padahal Bengkalis baru dibeli Belanda dengan ganti rugi dari Sultan Siak. Residen ini terbagi atas Afdeeling Deli (Kontrolir di Labuhan), Afdeeling Asahan (Kontrolir di Tanjung Balai), dan Afdeeling Labuhan Batu. Residen pertama adalah J. Locker de Bruijne.
Pada tahun 1887 ibukota dipindahkan dari Bengkalis ke Labuhan, kemudian ke Medan dengan berbagai reorganisasi, yaitu diciptakan lebih banyak Onderafdeeling yang dikepalai seorang Kontrolir Belanda. Kemudian juga dibentuk peradilan di Medan dan Bengkalis, di samping sebuah Residentie recht. Menurut perubahan dalam Staatblad 1978/207, Afdeeling Deli dirombak menjadi
1. Afdeeling Deli (assisten residennya di Medan)
a. Onderafdeeling Medan (kontrolirnya di Medan)
b. Onderafdeeling Labuhan (kontrolirnya di Labuhan)
2. Afdeeling Langkat Hulu (kontrolirnya di Binjai)
3. Afdeeling Langkat Hilir (kontrolirnya di Tanjung Pura)
4. Afdeeling Tamiang (kontrolirnya di Seruwei)
5. Afdeeling Serdang (kontrolirnya di Lubuk Palam)
6. Afdeeling Padang-Bedagai (kontrolirnya di Tebing Tinggi)
Dalam Staatblad 1900/64 Residensi Sumatera Timur mengalami reorganisasi lagi, karena mengalami kemajuan pesat dalam bidang ekonomi. Terakhir menurut Beslit Gubernur 6 Juli 1915 ao. 3 status Residensi Sumatera Timur dinaikkan menjadi gouvernement (provinsi) yang berkedudukan di Medan dan pimpinan pertama kali dipegang oleh Gubernur S. Van der Plass. Secara administratif, Sumatera kemudian dibagi atas :
1. Afdeeling Deli dan Serdang
a. Onderafdeeling Deli Hilir
b. Onderafdeeling Deli Hulu
c. Onderafdeeling Serdang
d. Onderafdeeling Padang dan Bedagai
2. Afdeeling Langkat
a. Onderafdeeling Langkat Hilir
b. Onderafdeeling Langkat Hulu
3. Afdeeling Simelungun dan Tanah Karo
a. Onderafdeeling Simelungun
b. Onderafdeeling Tanah Karo
4. Afdeeling Asahan
a. Onderafdeeling Asahan
b. Onderafdeeling Batubara
c. Onderafdeeling Labuhan Batu
5. Afdeeling Bengkalis
a. Onderafdeeling Bengkalis
b. Onderafdeeling Siak
c. Onderafdeeling Bagan Siapi-api
d. Onderafdeeling Rokan
e. Onderafdeeling Kampar Kiri
Sebuah Afdeeling berada di bawah pengawasan seorang asisten residen dan onderafdeeling di bawah seorang kontrolir. Dua orang gezaghebber ditugaskan oleh Asisten Residen Bengkalis khusus untuk mengawasi panglong (sagu) di Selatpanjang. Bengkalis yang sudah dibeli dari Sultan Siak pada tahun 1873 dan menjadi daerah Hindia Belanda yang diperintah langsung oleh asisten residen dengan mengangkat lima orang penghulu bumiputra, yaitu Kelapa Pati, Sendrah (dengan Paliman dan Si Batu), Seggono, dan Maskum, ditambah enam penghulu tidak bergaji. Pada tanggal 1 Januari 1940, Afdeeling Bengkalis dikeluarkan dari Provinsi Sumatera Timur dan dimasukkan ke Residensi Riau.
Dalam hubungannya dengan kerajaan-kerajaan bumiputra di Indonesia, Belanda membagi kedudukan mereka dalam dua kategori, yaitu: Pertama, kerajaan dengan Kontrak Politik (Lange Politiek Contract) dan, Kedua, kerajaan dengan Pernyataan Pendek (Korte Verklaring). Pada kategori pertama, ada dua pihak yang mengadakan kontrak (perjanjian), yakni pemerintah kerajaan bumiputra dan pemerintah Hindia Belanda. Di luar isi pasal-pasal yang disebut dalam perjanjian, hak dan wewenang sepenuhnya berada di pihak kerajaan bumiputra. Kerajaan di Sumatera yang termasuk golongan ini adalah Asahan, Deli, Kualuh, Langkat, Pelalawan (Kampar Hilir), Siak, Serdang, dan Riau-Lingga. Kerajaan Riau-Lingga dihapus pada tahun 1911.
Untuk kategori kedua, di seluruh Indonesia terdapat 261 korte verklaring yang dibuat oleh Belanda. Kerajaan dengan korte verklaring yang terdapat di Sumatera Timur adalah Barusjahe (Karo), Bilah, Dolok Silau (Simalungun), Gunung Sahilan, Indrapura, Kunto Darussalam, Silima Kuta (Karo), Logas, Panai, Pane (Simelungun), Baya (Simelungun), Sarinembah (Karo), Tambusai, Tanah Datar (Batubaru), Tanah Jawa (Simelungun), Kepenuhan, Rambah, IV Kota Rokan Hilir, Kotapinang, Pesisir (Batubara), dan Limapuluh (Batubara).
Kerajaan dengan korte verklaring yang terdapat di Aceh adalah seluruh kerajaan besar kecil yang berjumlah 102 kerajaan, sedangkan di Riau adalah Hulu Tesso, Indragiri (awalnya lange politiek contract, tetapi sejak Raja Mahmud atau tahun 1912 derajatnya diturunkan menjadi korte verklaring), IV Koto Hilir, IV Koto Mudik, V Koto di Tengah, Lubuk Ramo (III Koto). Dalam kategori ini para raja menandatangani pernyataan tunduk kepada semua perintah dan ketentuan pemerintah Hindia Belanda, sehingga Kontrolir Belanda setempat mempunyai kekuasaan besar.
Kemajuan wilayah lain di Sumatera Timur dalam bidang investasi asing tidak dapat diikuti Siak dan Pelalawan yang dulunya merupakan kerajaan besar. Berbagai maskapai membuka konsesi di Siak, tetapi gagal dan terpaksa ditutup, sehingga Siak merupakan daerah yang terbelakang (sebelum dibukanya tambang minyak). Kekayaan Raja Deli, Langkat, Serdang, dan Asahan jauh melebihi kekayaan Sultan Siak, sehingga dalam rapat dan pertemuan sering terjadi hal-hal yang kikuk, karena Sultan Siak menuntut perlakuan istimewa sebagai raja yang pernah menjajah negeri-negeri di Sumatera Timur itu.
Atas dasar perjanjian yang dibuat pada tanggal 23 Juli 1884, Belanda berhasil membujuk Sultan Siak yang membutuhkan uang, untuk menyerahkan hak atas kerajaan-kerajaan di sebelah utara Siak di Sumatera Timur kepada pemerintah Hindia Belanda, dengan catatan bahwa Sultan Siak akan dianggap sebagai raja yang paling utama di antara raja-raja di Sumatera Timur dan juga diberi cap yang lebih besar. Penyerahan hak ini disertai ganti rugi (schadeloosstelling) uang (Schedel deel II; Plass, 1917).
11. Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
a. Siak
Seperti telah disinggung, pada tahun 1885 putra Sultan yang tertua, Tengku Muda Anom ditunjuk sebagai pengganti Sultan, sementara Mangkubumi dan Tengku Muda tidak disukai Belanda karena kegiatannya, sehingga keduanya dipecat dari jabatannya. Kemudian Tengku Ngah Said Hasyim, putra sultan yang bungsu diangkat menggantikannya. Pada tanggal 21 Oktober 1899 Sultan Syarief Kasim mangkat dan digantikan oleh Sultan Syarief Hasyim.
Setiap pergantian raja, Belanda selalu menyodorkan perjanjian baru yang semakin mempersempit hak raja tersebut. Dalam pengangkatan Sultan Syarief Hasyim, perjanjian yang dibuat pada tanggal 1 Februari 1858 diubah, yaitu dihapusnya lembaga orang-orang besar menurut adat Melayu, sehingga Sultan dijadikan penguasa tunggal di Kerajaan Siak. Dalam perubahan Kontrak Politik yang dilakukan pada 25 Oktober 1890 disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Siak hanya meliputi daerah Teratak Buluh, beberapa pulau (Bengkalis tidak termasuk di dalamnya), dan daerah jajahan yang meliputi Tapung Kanan, Tapung Kiri, Tanah Putih, Bangko, dan Kubu. Dewan kerajaan tertinggi dan kepala-kepala suku bersama Laksamana Bukit Batu tidak dapat langsung berurusan dengan residen, akan tetapi harus melalui Siak, kemudian disampaikan kepada Gubernemen Hindia Belanda. Hukuman mati dapat dilaksanakan oleh Kerapatan Sultan bila disetujui oleh residen. Permintaan grasi oleh terpidana ditujukan kepada Gubernur Jenderal. Begitu juga orang-orang berbahaya yang akan dibuang ke luar wilayah Siak ditentukan oleh Gubernur Jenderal. Semua cukai pelabuhan diambil oleh Belanda. Begitu juga semua hak mengutip pajak, kecuali (a) barang larangan (gading gajah, sumbu badak, guliga, gaharu, dan lain-lain); (b) apak Lawang (pajak tanah untuk pendatang yang berupa 10 gantang padi/ladang); (c) pancong alas (pajak pendatang sebesar 10% dari nilai hasil hutan yang dipungut); (d) hasil tanah dan konsesi; (e) sewa konsesi kayu di Sungai Bawa dan Kota Buruk. Untuk mengatur agar tidak terjadi perselisihan dalam keluarga, Belanda menaikkan schadeloostelling menjadi FL. 50.000 per tahun untuk pribadi Sultan Syarief Hasyim dengan syarat Sultan melepaskan warisan lainnya kepada saudara-saudaranya.
Setelah terjadi perubahan Kontrak Politik, Sultan Siak kemudian memberi izin untuk adanya suatu dinas transportasi dengan kuda-kuda beban sebagai kendaraan antara Teratak Buluh dan Pekanbaru. Kejadian ini tidak disenangi oleh orang-orang V Koto yang dengan seratus buah sampan turun untuk membunuh kuda-kuda beban itu. Pada tanggal 21 September 1893, Asisten Residen mengirim 24 serdadu dari Bengkalis untuk perlindungan. Pada tahun, 1898 Sultan Syarief Hasyim pergi ke Belanda untuk menghadiri penobatan Ratu Wilhemina. Dalam kesempatan itu dia diberi bintang Ridden Orde v.d. Ned. Leeuw.
Pengganti Sultan Syarief Hasyim adalah putranya, Sultan Syarief Kasim Abdul Jalil Syaifuddin yang menandatangani Kontrak Politik pada tanggal 24 Mei 1916. Mula-mula dia dibimbing mertuanya, Pangeran Embung dari Langkat. Dengan ditemukannya timah di daerah Tapung, Lima Koto, dan Rokan, Belanda mulai mengadakan reorganisasi pemerintahan di sana, terutama sampai batas jajahan Siak dengan Kampar atau dengan Kota Intan, sebab orang--orang Tapung juga mempunyai pameo “Beraja ke Siak, bertuan ke kota Intan”. Akhirnya sesuai dengan isi Kontrak Politik Siak terbaru yang ditandatangani tahun 1890, wilayah Tapung dimasukkan ke Siak, dengan alasan bahwa dari dulu Bendahara-bendahara Ketapahan, Tandun, Kasikan, Batu Gajah, Kebon, Kota Renah, Liantan, dan Selijang mendapat cap dari Sultan Siak.
b. Kampar (Pelalawan)
Menurut laporan ahli pertambangan, Ir. Everwijn, yang menjelajahi wilayah Kampar untuk mencari timah, kerajaan ini terdiri dari wilayah Kampar Besar, Teratak Buluh, Kampar, Lima Koto, dan Delapan Koto. Sebagian besar kegiatan dilakukan melalui Sungai Kampar dari Kampung Sibaros-baros sampai ke laut di Pulau Serapong dan Penyeleian. Di pulau-pulau ini sudah terdapat kegiatan panglong Cina.
Kontrak Politik dengan Pelalawan ditandatangani oleh Tengku Besar Said Abubakar pada tanggal 4 Februari 1879, diikuti dengan penyerahan berbagai kutipan pajak, bea cukai, dan lain-lain seperti halnya Siak. Pada tahun 1885 di Pelalawan ditempatkan seorang kontrolir dan petugas bea cukai. Oleh karena tahun 1887 Said Abubakar mangkat, untuk sementara pemerintahan dipegang oleh putranya, Tengku Sentul, yang kemudian juga meninggal dunia. Pada tahun 1894, Tengku Putra Said Hasyim ditabalkan sebagai raja baru. Dia merupakan anak kedua Said Abubakar. Pentabalan ini dibarengi dengan perubahan perjanjian lama dengan syarat-syarat yang lebih mengurangi hak raja, sehingga negeri ini menjadi miskin. Belanda berencana penganti raja selanjutnya akan diminta untuk menjadikan negeri ini sebagai korte verklaring (Plass, 1917: 179; Fals, 1882).
c. Gunung Sahilan
Di akhir abad ke-19, Asisten Residen Bengkalis berencana akan berkunjung ke Gunung Sahilan karena Yang Dipertuan menuntut daerah IV Koto di Hilir, IV Koto di Mudik, dan daerah Singingi masuk ke residennya. Klaim itu ditentang oleh daerah-daerah tersebut. Oleh karena takut dikenali oleh orang Singingi, Asisten Residen Bengkalis batal ke Gunung Sahilan.
d. Daerah Rokan
Ada dua daerah Sungai Rokan yang utama, yaitu Rokan Kiri dan Rokan Kanan. Di sepanjang hulu sungai itu terdapat kerajaan-kerajan kecil yang pada akhir abad ke-19 masih merdeka. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Kepenuhan, Rambah, dan Tambusai di Rokan Kanan serta Kunto Darussalam dan Rokan IV Koto di Rokan Kiri. Kunto Darussalam terbagi atas Kota Intan (di Tapung) dan Kota Lama. Pada tahun 1893 terjadi perselisihan antara Raja Kepenuhan dengan adiknya. Raja Rambah dan Tambusai ingin ikut campur, tetapi hal ini sudah ditangani oleh pembesar Siak. Pada tahun 1875 terdengar bahwa Yang Dipertuan Kota Intan, Jumadil Alam, telah mengumpulkan para bendahara untuk diperintah dengan paksa. Sultan Siak mengirim laskar ke sana bersama Kontrolir Siak, sehingga Jumadil Alam kembali ke Kota Intan.
Siak meninggalkan sejumlah laskar bersenjata di Kasikan. Atas dasar ini Belanda kemudian mempersiapkan ekspedisi militer untuk menghukum Kota Intan dengan mengirim colonne di bawah pimpinan Kapten lnfanteri Barthelemy dengan empat opsir dan 135 serdadu dari garnisun Medan. Pada tanggal 19 Januari 1876 ekspedisi militer Belanda ini meninggalkan Kasikan. Setelah melakukan perlawanan dengan sengit, para pejuang terpaksa berpencar ke hutan dan Belanda membakar rata Kampung Kota Intan. Pada tanggal 10 Februari 1876, sebagian besar ekspedisi militer kembali ke Medan dan di Kasikan tersisa satu detasemen militer untuk pendudukan. Pada bulan Maret 1876 kepala Kampung Lindak dan Kota Intan berunding dengan Residen Sumatera Timur. Pada tahun 1877 Tambusai ditundukkan Belanda.
Pada tahun 1881 Sultan Siak mengklaim Tambusai sebagai jajahannya, karena Raja Tambusai berdiam di wilayah Siak (Tanah Putih). Residen Bengkalis kemudian menjadi penengah atas berbagai klaim dan soal perbatasan antara Tambusai dengan Siak dan antara Kepenuhan dengan Rantau Binuang. Kemudian, dengan akta perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 1885, Yang Dipertuan Zainal Abidin diakui sebagai Raja Tambusai dan Rantau Binuang dikembalikan kepada Siak (1888).
Rokan IV Koto yang terdiri dari Lubuk Bendahara, Rokan, Gedung Batu, dan Pandalian, yang dikepalai Yang Dipertuan Lubuk Bendahara, juga dikuasai Belanda pada tahun 1888. Mengenai daerah Distrik Kuantan dan Hulu Kampar dapat dibaca dalam laporan Ir. J. W. Ijzerman pada bulan Maret 1891. Ijzerman meneliti kemungkinan pengiriman batubara dari tambang Umbilin melalui Sungai Siak ke Selat Malaka (Dwars door Sumatera).
Yang Dipertuan Zainal Abidin dibuang oleh Belanda ke Madiun dengan Beslit Gubernur Jenderal tertanggal 27 November 1904 no. 3, karena berani melawan Belanda. Pada tahun 1905 Tambusai berada di bawah pemerintahan bersama antara Muhammad Sulung yang bergelar Sultan Mansyur dengan Abdul Hamid yang bergelar Sutan Jumadil Alam (dari wilayah Sosa dan Batang Kumu). Kemudian pada tahun 1917 Haji Ahmad alias Muhammad Sulung menjadi Raja Tambusai. Adapun raja-raja di Rokan yang menandatangani Pernyataan Pendek adalah (a) Yang Dipertuan Besar Abduljalil, dari Gunung Sahilan (27 Februari 1905); (b) Yang Dipertuan Besar Kasam, dari Kunto Darusslam (24 Maret 1905); (c) Yang Dipertuan Sakti Ibrahim, dari Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1905); (d) Si Tampeong bergelar T. Maharaja Lela, dari Kepenuhan (27 Mei 1905); (e) Yang Dipertuan Besar Abd. Rahman, dari Gunung Sahilan (29 Mei 1907); (f) Yang Dipertuan Besar Ahmad bin Akhirzaman, dari Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1910); (g) Yang Dipertuan Besar Ali Tandung, dari Kunto Darussalam (25 Juni 1910).
e. Kotapinang, Panai, dan Billah
Di tahun 1864 Belanda telah mengakui Sultan Mustafa sebagai Yang Dipertuan Kotapinang. Ia meninggal dan digantikan putranya, Sultan Ismail Yang Dipertuan Sakti, yang membuat pernyataan pendek tertanggal 4 September 1872. Pada tahun 1887 batas antara Kotapinang dengan wilayah Siak Tanah Putih dan Kubu diresmikan.
Di Panai, Sultan Abdullah digantikan oleh Sultan Gegar Alam. Pada tahun 1887 Sultan Gegar Alam meminta agar digantikan oleh putranya, Sultan Mengedar Alamsyah. Tahun 1884 kantor pabean Belanda di Panai diserang oleh rakyat dari arah laut. Pada tahun 1888, batas Panai dengan Siak (Kubu) diresmikan dan tahun 1895 kedudukan Kontrolir Labuhan Batu dipindahkan ke Labuan Bilik. Kemudian tahun 1883 Raja Muda Billah dibuang Belanda ke Bengkalis (Sinar, 1970).
f. Asahan dan Kualah
Pada tanggal 18 Maret 1882, Yang Dipertuan Muda Asahan, Naamatullah yang juga menjadi Raja Kualah-Leidong, meninggal dunia. Ia digantikan putranya, Haji Muhammad Syah, sebagai Raja Kualah dan lepas dari Asahan. Haji Muhammad Syah membuat perjanjian dengan Belanda pada tanggal 25 Maret 1886. Pemberontakan rakyat di Asahan yang menghendaki kembalinya Sultan Ahmadsyah masih terus berlangsung. Bahkan pos Belanda di Si Alang Kelong dan Bandan Baru diserang gerilyawan pada tahun 1883. Akhirnya pada tahun 1886 Sultan Ahmadsyah dikembalikan ke tahtanya di Asahan. Pada tanggal 27 Juni 1888, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, sehingga kedudukannya digantikan oleh Sultan Muhammad Husinsyah yang merupakan putra adiknya, Tengku Adil. Putra dan pengganti Husinsyah adalah Sultan Saibun Abdul Jalil Rahmatsyah (Kroesen, 1886).
g. Batubara
Bekas jajahan Siak, Tanjung, Pare-pare, dan Pagarawan, diakui Belanda sebagai wilayah tersendiri dan masuk Batubara. Pada tahun 1894, Raja Pagarawan, Datuk Setia Wangsa, dibuang ke Bengkalis dan digantikan putranya, Datuk Setia Maharaja Lela. Pada tahun 1900, Raja Tanjung Kasau digantikan adiknya, Raja Maharuddin (Scheemaker, 1869; Sinar, 1970a).
h. Deli, Langkat, dan Serdang
Pada tanggal 25 Oktober 1873 Sultan Mahmud meninggal dan digantikan putranya, Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah. Mula-mula Sultan Siak menuntut agar Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah datang ke Siak untuk menerima gelar sebagai Sultan Deli, langsung dari tangannya. Meskipun dulu Belanda mengakui hak Sultan Siak atas Deli, namun Residen menyatakan bahwa keadaan sudah berubah karena kemakmuran yang dicapai Deli, sehingga Sultan Siak mengalah dengan menghadiri pelantikan Sultan Deli di Bengkalis, seolah-olah hanya sebagai saksi. Setelah menerima surat pengangkatan dan gelar baru dari Residen atas nama pemerintah Hindia Belanda, Sultan Deli kemudian menyembah Sultan Siak untuk basa basi terhadap Sultan yang lebih tinggi kedudukannya (Brandhof, 1909).
Berdasarkan Staatblad 1879/205, kedudukan Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, sehingga pada tahun 1888 Sultan Deli membuat istana Maimun di Medan dan kemudian pindah ke sana. Sultan Makmun al Rasyid Perkasa Alamsyah dikenal sebagai raja yang kaya dan setelah meninggal kemudian diberi gelar Marhum Makmur. Ia juga menghibahkan tanah kepada Gubernemen Hindia Belanda untuk dijadikan tapak kota Medan. Ia digantikan oleh putranya, Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah.
Pada tahun 1880 Sultan Serdang, Tuanku Basyaruddin Syaiful Alamsyah, meninggal dunia dan sesuai adat “Raja mangkat, raja menanam”, maka para orang besar dan rakyat menobatkan putra tunggalnya menjadi raja dan bergelar Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah. Oleh karena raja belum dewasa, untuk sementara waktu pemerintahan dipangku pamannya, Raja Muda Mustafa.
Perselisihan soal perbatasan antara Deli dan Serdang terjadi terus-menerus, terutama mengenai Senembah, Denai, dan Percut, sehingga Belanda belum mengakui Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sebagai Sultan Serdang. Atas tekanan Belanda dan untuk keuntungan Deli, diputuskan bahwa Denai dikembalikan kepada Serdang (1882). Sungai Tuan dan hulu Sungai Batangkuwis dijadikan sebagai batas Deli dengan Serdang, dan Senembah dibagi dua. Setelah itu, Belanda baru mengakui Sultan Sulaiman dengan penandatanganan kontrak di Bengkalis pada tanggal 29 Januari 1887. Pada bulan Juli 1895, Sultan Sulaiman mengirimkan patroli laskar bersenjata untuk menghadapi kerusuhan di hulu Serdang (daerah Batak Karo) yang dikenal dengan nama “Perang Pak Abdullah”. Oleh karena hubungan yang mesra dengan Raja-raja Batak di hulu itu, maka banyak Raja Batak yang memasukkan daerahnya di bawah kekuasaan Serdang.
Pada tahun 1879, Pangeran Langkat Musa naik haji ke Mekah. Setelah kembali, ia menunjuk putra bungsunya sebagai bakal penggantinya. Sementara itu, gerilyawan Aceh di pedalaman Langkat terus membakar perkebunan dan tambang minyak di Brandan, sehingga Belanda menempatkan garnizun di Tanjung Pura (Sinar, 1981a). Dalam bulan Maret 1886, Kejeruan Bahorok, Tengku Abdurrahman, mengobarkan perang sabil dan mengajak rakyat Langkat untuk melawan Belanda. Ketika pasukan Belanda datang ke Bahorok, para gerilyawan yang dipimpinnya sempat pergi menyingkir ke Tanah Alas. Tidak lama kemudian, ia meninggal dunia di sana.
Pada tahun 1893 Pangeran Musa turun dari tahta dan mengangkat putra bungsunya, Sultan Abdul Azis. Kemudian Pangeran Musa mengundurkan diri dan pergi suluk pada pesantren Tuan Syekh Babussalam dari aliran Tarekat Naqsabandiyah yang dibangun Pangeran Musa sendiri di Basilam. Setelah Sultan Abdul Aziz meninggal pada tahun 1925, ia digantikan putranya, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmatsyah.
12. Sistem Pemerintahan Dan Peradilan Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur Pada Zaman Hindia Belanda
Kepala pemerintahan di kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera mempunyai berbagai gelar, di antaranya adalah “Sultan” (Siak, Deli, Langkat, Asahan), yang pengangkatannya sudah ada sebelum Belanda datang, baik diperoleh dari Siak ataupun Aceh, “Sutan” (Bilah, Panai, Tambusai), “Yang Dipertuan” (Kotapinang, Gunung Sahilan, Kualah, Kunto Darussalam, Empat Kota, Rokan Hilir, Rambah), “Datuk” (Limapuluh, Pesisir, Suku Dua, Tanah Datar, Singingi), atau sekadar “Raja” dan “Tengku Besar” (Pelalawan). Di bawah Raja ada “Raja Muda” (Yang Dipertuan Muda), tetapi sejak akhir abad ke-19 jabatan ini dihapus oleh Belanda. Penghapusan diawali di Siak, kemudian di seluruh Sumatera Timur. Belanda juga menghapus Lembaga Orang Besar (Raad van Rijksgroten) secara perlahan-lahan, karena Belanda menginginkan hanya ada penguasa tunggal di setiap kerajaan agar Belanda lebih mudah mengaturnya.
Pada zaman dahulu, raja-raja Melayu tidak dapat bertindak semaunya tanpa persetujuan orang-orang besar (biasanya empat wazir). Pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Raja Muda. Bila orang besar meninggal, penggantinya dicari dari turunan atau keluarga terdekat yang dianggap mampu. Akan tetapi, setelah ada kebijakan Belanda tersebut, derajat orang besar diturunkan hanya sebagai districthoofd (pamongpraja) di bekas wilayah bapaknya. Kerajaan besar biasanya mempunyai wilayah taklukan berupa kerajaan kecil yang diperintah oleh raja atau kejeruan, sedangkan kerajaan kecil di wilayahnya sendiri yang disebut rantau atau luhak diperintah oleh seorang datuk. Selaku ornamen raja, pembesar bergelar Laksamana, Bendahara, Tumenggung, dan lain-lain, tidak berfungsi. Mereka baru berfungsi jika ditugaskan mengepalai suatu daerah dengan sebutan rijksgroten.
Pasal-pasal Politik Kontrak yang membahas kekuasaan raja berisi: (a) Pengakuan bahwa kerajaannya adalah bagian dari Hindia Belanda; (b) Kedua belah pihak (raja dan Belanda) harus mentaati isi perjanjian; (c) Hak mengenai hukum adat dan hukum Islam maupun hal-hal yang tidak disebutkan dalam Politik Kontrak sepenuhnya menjadi wewenang raja; (d) Pembesar Belanda (kontrolir) ditempatkan di kerajaan hanya sebagai penasihat; (e) Hukuman mati dan hukuman buang hanya dilaksanakan oleh Kerapatan Raja setelah mendapat izin dari Gubernur Jenderal; (f) Raja boleh membuat peraturan sendiri (zelffbestuursder ordening); (g) Raja boleh mempunyai korp kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan sendiri. Kerapatan Besar merupakan instansi tertinggi, dengan raja sebagai hakimnya, di samping orang-orang besar selaku anggota, dan kontrolir selaku penasihat.
Dengan adanya Pernyataan Pendek, semua perintah ambtenaar Belanda dan kontrolir di wilayah Kerajaan Melayu bisa mengubah putusan Kerapatan. Pedoman untuk kerajaan yang dipakai adalah zelfbestuursregelen tahun 1938. Sampai saat itu, di daerah Rokan dan Kampar Kiri masih ditemui pemerintahan distrik atau onderdistrik yang berdasarkan adat, karena dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Pemerintahannya berdasarkan negeri dan kepala negeri yang diambil dari suku yang dominan. Oleh karena itu, wilayah ini disebut “Siak dan Pelalawan tanah berajo”. Di Kampar Kiri, negeri-negeri itu bergabung dalam suatu unit. Di Hulu Serdang, Langkat, dan Deli terdapat wilayah “dusun” yang didiami sukubangsa Karo dan Simelungun (Timur). Meskipun mereka memelihara hubungan perkauman dengan saudara-saudaranya di Tanah Tinggi Karo dan Simalungun, tetapi mereka tunduk kepada raja-raja Melayu. Mereka yang berasal dari Batak, tetapi sudah masuk Melayu (Islam) diwakili oleh “Datuk Kepala Urung” atau Kejeruan.
Belanda berusaha membendung pengaruh Sultan Melayu yang mendorong Islamisasi (Melayunisasi) di wilayah “dusun” ini dengan menyediakan tanah Batak untuk pengembangan misi Kristen, membentuk kontrolir khusus yang disebut Controleur voor Bataksche Zaken dan peradilan di wilayah urung (dusun), yang disebut Kerapatan Dusun, Kerapatan Urung, dan Balai Kitik. Peradilan ini memperhatikan adat Batak ketika Sultan atau Datuk akan memberikan hukuman. Politik Belanda ini tercermin dalam pernyataan rahasia.
Ik acht zeen gewenscht om politikie redenen dan rechtstreekschen invloed van Sultan en onroenghoefden die allen Mohammedaan zijn, ook niet te versterken en veeleer de Batak doesoens als afzonderlijke, of ik liever zeggen als meer bjzondere eenheden te blijven beschouwen.
Berdasarkan pertimbangan politis, saya mau agar pengaruh sultan dan kepala urung yang Islam itu jangan diperkuat dan dianggaplah wilayah Batak Dusun selaku wilayah tersendiri, atau katakanlah sebagai wilayah kesatuan yang harus diperlakukan khusus sekali (Memorie v. Overgave Residen Deli-Serdang S.v.d. Plas 2 Juni 1913).
Kesatuan hukum terkecil di Melayu di samping keluarga ialah kampong yang dulu cukup otonom. Akan tetapi akibat tekanan dari pusat (raja dan datuk), dan terakhir karena datangnya berbagai elemen asing, fungsi kepala kampung kemudian hanya sekadar sebagai pesuruh raja atau kekuasaan sentral dan tidak lagi menjadi wakil masyarakat kampung (Meyenfeldt, t.t.).
Seperti disebutkan di atas, orang-orang besar (Landsgroten dan Rijksgroten) pada kerajaan yang berkontrak politik adalah anggota dari kerajaan besar. Jadi, bila raja dari kerajaan dengan pernyataan pendek tergabung dalam suatu kerajaan besar, maka mereka bergiliran menjadi ketua sidang, misalnya kerajaan di Batubara, Labuhan Batu, Rokan, dan Kampar di Pelalawan. Kepala Distrik (Raja Lela Putra, Datuk Laksamana, Datuk Kampar) juga mempunyai kekuatan hukum, demikian juga para bendahara dan khalifah di Rokan dan Kampar. Kerapatan umumnya sulit membedakan hukum sipil dan hukum pidana. Oleh karena itu, jaksa hadir dalam sidang perkara perdata (sipil) dan perkara pidana. Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kerajaan hanya bisa diadili di pengadilan gubernemen (landraad).
Pada beberapa Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, soal yang menyangkut peradilan agama Islam juga dilaksanakan di Kerapatan, setelah mendengar nasihat atau usul tertulis dari Mufti atau Kadhi kerajaan. Sejak tahun 1928, Raja Serdang menumbuhkan “Majelis Syar‘i Kerajaan Serdang” berdasarkan tauliah (perintah) dari raja dengan mengambil alih salah satu hak raja (selaku ulil amry dan imam agama Islam). Majelis ini mempunyai ketua dan anggota sebagai instansi tertinggi yang memutuskan perkara agama Islam seperti menikah, talak, rujuk, pusaka, harta baitul mal, penentuan puasa dan hari raya, zakat mal dan zakat fitrah untuk fakir miskin, dan urusan pengangkatan kadhi, serta sekolah (maktab) agama Islam di kerajaan.
Pada umumnya Kerapatan memutuskan hukuman berdasarkan adat-istiadat, hukum Islam, dan kebiasaan, sepanjang tidak bertentangan dengan sendi-sendi kepatutan dan keadilan yang umum diakui (volgens de godsdienstige wetten, volksinstellingen en gebruiken, die niet instrijd zijn met algemeen erkende beginselen van billijkheid en rechtvaardigheid), sedangkan dalam masalah pidana yang dijadikan pedoman adalah KUHP.
13. Orang Melayu Dan Rajanya
Dengan tertanamnya penjajahan Belanda di Sumatera Timur, maka proses Melayunisasi Raja Melayu ke daerah pedalaman yang dihuni suku-suku Batak sudah terhalang, karena daerah tersebut disiapkan oleh Belanda sebagai daerah pengembangan agama Kristen. Seseorang dianggap sebagai Melayu apabila telah memenuhi syarat sebagai orang Islam, berbicara bahasa Melayu, mempergunakan adat Melayu, dan memenuhi syarat menetap di tempat tertentu (Nagata: 91).
Jadi, istilah Melayu adalah berdasarkan alasan kultural. Salah satu ciri orang Melayu adalah memegang konsepsi “kerajaan”. Hal ini menunjukkan pentingnya fungsi raja bagi orang Melayu dalam policy negara dan pemusatan sesuatu pada raja dalam indentitas kultural orang Melayu tua. Raja adalah simbol personifikasi nilai-nilai masyarakat dan tradisi sejarah (Milner, 1977).
Kerasnya konsep beraja tersebut ditunjukkan oleh beberapa pepatah Melayu, seperti “Ada raja adat berdiri, tiada raja adat mati” dan “Biar mati anak, daripada mati adat” (Kementerian Penerangan RI). Arti “kerajaan” di sini adalah wilayah kediaman (establishment) yang ada bandarnya. Orang Melayu sangat menghormati raja dari keturunan dinasti yang tersohor terus-menerus (illustrious and impeccable). Hal ini berfungsi sebagai legitimasi, karena menurut mereka rakyat dan negeri mudah dicari, namun dinasti purba yang tersohor tidak dapat dicari. Selama dinasti itu utuh, tidak ada alasan untuk membubarkan kerajaan. Sesuai dengan adat pada zaman Hindu dan Budha, raja dianggap “bodhisatva” yang memberikan “tantra” dan kedamaian abadi kepada rakyatnya yang setia “bhakti” dengan “anugerah”. Ada seperangkat alat musik nobat yang menjadi bagian dari regalia kerajaan, yaitu sesuatu yang bersifat sakral dan mengandung supernatural power, misalnya jin kerajaan. Pengangkatan raja baru tidak syah jika tidak “dinobatkan”. Pada zaman dahulu, jika terdengar alat musik nobat dibunyikan, maka orang berhenti bekerja seolaholah raja berada di situ (Sinar, t.t.: 3’16).
Raja ‘berdaulat’ dan mempunyai kesaktian yang tidak dipunyai rakyat biasa. Konsep ini dipengaruhi ajaran Islam yang dibawa pada abad ke-13 dan ke-14 oleh kaum Sufi ke Pasai dan negeri-negeri Melayu. Raja memakai titel ‘sultan’ atau ‘syah’ yang dianggap zil Allah fi’il alam (bayang-bayang Tuhan di atas dunia). Ketentuan ini menganggap bahwa raja yang adil dan Rasulullah ibarat dua permata dalam satu cincin dan jika orang melaksanakan tugas kepada Rasulullah seakan-akan sama dengan melaksanakan tugas kepada Tuhan.
Bahkan Tajussalatin dari Pahang menafsirkan Al Quran Surat Xl ayat 30: sebagai “Tuhan menempatkan raja di atas dunia selaku wakilnya”. Konsep ini kemungkinan besar dipengaruhi konsep raja-raja Islam di India (Nujeeb, 1967: 33). Orang Sufi menambahkan, raja diposisikan sebagai Insan al Kamil (the perfect man) yang bisa menyatukan diri dengan Tuhan. Oleh karena itu, prinsip durhaka adalah pantangan besar bagi orang Melayu, karena hal itu melawan daulat.
Sebelum berkuasanya penjajah Barat, bila seorang rakyat jelata merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh rajanya, mereka “menyanggah” dengan cara mengumpulkan harta benda dari keluarganya lalu naik perahu meninggalkan negeri itu untuk pindah ke negeri lain. Hal ini akan memalukan raja tersebut, sebab kemakmuran dan kekuatan raja dan negeri tergantung pada sedikit banyaknya rakyat yang setia. Meskipun segalanya berpusat kepada raja, raja sendiri tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bermusyawarah dengan menteri-menteri dan Orang Besarnya, karena merekalah yang mempunyai kekuasaan nyata. Raja dan Orang Besar ibarat “api dengan kayu”. Kemaslahatan rakyat banyak dibicarakan secara terbuka di Balairung Seri. Seorang raja harus mengindahkan hukum Islam, karena raja merupakan khalifatullah fi al ardl. Raja harus adil, mengutamakan rakyat, dan mempertahankan kehormatan mereka. Tugas seorang raja ini dapat dibaca dalam surat Sarakat Halilintar dari Sultan Aceh untuk pengangkatan Sultan Basyaruddin dari Serdang (1854) (Sinar, 1970a). Kewajiban seorang raja itu tercermin dalam pepatah “Raja memegang adat yang kanun; adat pusaka turun-temurun; adil, arif, bijak bersusun; pandai meneliti zaman beralun”.
Pada zaman dulu jelas bahwa without the institution of the Raja, the Malay world have fallen into confusion (Milner, 1977;108). Oleh karena itu, Belanda sangat getol berusaha menghancurkan Lembaga Orang Besar (raad van rijksgroten) di semua kerajaan Melayu, karena Belanda tahu bahwa kekuasaan politik berada di tangan Orang Besar. Dengan hancurnya Orang Besar diharapkan raja tinggal sendirian sebagai penguasa tunggal tanpa kawan musyawarah, sehingga mudah diperalat Belanda. Raja tanpa Orang Besar merupakan hal asing dalam sistem pemerintahan Melayu, karena tugas raja sebenarnya hanya berhubungan dengan tata-krama yang berkultur tinggi.
Setelah masuknya kapitalis dan perkebunan asing ke Sumatera Timur, Belanda memuji kemakmuran Cultuurgebied itu sebagai hetdollarland dan selalu merendahkan orang Melayu sebagai pemilik tanah. Mereka mencibir kemalasan orang Melayu yang tidak mau bekerja di perkebunan Belanda. Mereka selalu mengatakan bahwa yang dilakukan orang Melayu hanya menikah, bersuka ria, naik haji, dan selanjutnya hidup bermalas-malasan (Westerman, t.t.). Tanah mereka disewakan kepada orang Cina dan Jawa untuk ditanami sayur, padi, dan atau kelapa (Plass, 1917).
Keahlian seni ukir perak orang Melayu di Batubara sudah lenyap, begitu pula seni ukir kayu dan sebagainya (Kempen, 1928: 393). Belanda menyebutkan bahwa orang Melayu seakan-akan memberikan peluang kepada orang Cina dan suku-suku pendatang lainnya untuk mengambil alih usaha kerajinan tangan dan kehidupan perekonomian di Sumatera Timur. Dikonstatir pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa orang Melayu tidak lama lagi akan terdesak oleh orang Jawa di Asahan dan Labuhan Batu, serta oleh orang Tapanuli (Geristsen, 1938: 71-72).
Laporan resmi Belanda mengatakan bahwa di setiap tempat dimana berdiam orang Melayu, keadaan di situ pasti terbelakang dan ekonominya tidak maju, demikian juga di wilayah Cultuurgebied Sumatera Timur. Dengan datangnya perkebunan Eropa di negerinya, rakyat Melayu tidak semakin maju, bahkan mereka terdesak (Eerde, DL I: 248-254). Orang Melayu bukan pekerja sawah, karena mereka adalah bangsa pemburu, nelayan, serta pedagang. Hal ini juga diakui oleh para pendatang (Kempen, 1928). Orang Melayu bersifat royal, patuh, serta hormat pada ketertiban, sehingga pada zaman Belanda orang Melayu hampir tidak ada yang ikut pergerakan radikal komunis.
Kelemahan orang Melayu tersebut dimanfaatkan oleh Belanda untuk menindas raja-raja Melayu. Akan tetapi, pada kenyataannya wilayah Kerajaan Riau-Lingga yang sudah diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, dilaporkan bahwa keadaannya juga tidak lebih baik. Sebenarnya keadaan orang dan negeri Melayu di Sumatera Timur sebelum kedatangan pemerintah Hindia Belanda dan perkebunan asing sangat berbeda dengan yang dicibirkan Belanda.(Tuanku Luckman Sinar Basarshah II,SH )
Diposkan oleh M MUHAR OMTATOK ber-Puak Melayu di 15:34
SIAPA AGAKNYA MELAYU ITU
oleh: MUHAR OMTATOK
Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku “Orang Kampong”- Puak Melayu. Ini semua karena diikat oleh kesamaan agama yaitu Islam, Bahasa dan Adat Resam Melayu.
Orang Melayu memegang filsafat: “Berturai, Bergagan, Bersyahadat”.
Berturai bermakna mempunyai sopan santun baik bahasa dan perbuatan dan memegang teguh adat resam, menghargai orang yang datang,serta menerima pembaharuan tamaddun yang senonoh.
“Usul menunjukkan asal,
Bahasa menunjukkan bangsa.
Taat pada petuah,
Setia pada sumpah,
Mati pada janji,
Melarat karena budi.
Hidup dalam pekerti,
Mati dalam budi”.
“Tak cukup telapak tangan, nyiru kami tadahkan”.
“Apabila meraut selodang buluh
Siapkan lidi buang miangnya
Apabila menjemput orang jauh
Siapkan nasi dengan hidangnya”.
“Sekali air bah, sekali tepian berubah”.
Bergagan bermakna keberanian dan kesanggupan menghadapi tantangan, harga diri dan kepiawaian.
“Kalau sudah dimabuk pinang,
Daripada ke mulut biarlah ke hati
Kalau sudah maju ke gelanggang
Berpantang surut biarlah mati”.
Bermula dari hulu, haruslah berujung pula ke hilir”.
“Apa tanda si anak melayu
matinya ditengah gelanggang
tidurnya di puncak gelombang
makannya di tebing panjang
langkahnya menghentam bumi
lenggangnya menghempas semak
tangisnya terbang kelangit
esaknya ditelan bumi
yang tak kenalkan airmata
yang tak kenalkan tunduk kulai”.
Bersahadat bermakna Orang Melayu disebut Melayu jika sudah mengucap kalimat syahadat, yaitu mengakui Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul panutan. Anak Melayu lebih dahulu diperkenalkan mengaji al Qur’an, baru mengenal ilmu pengetahuan yang lain. Kata “Laailaha Illallah Muhammadarosulullah” sebagai gerbang keislaman, selalu dipakai Orang Melayu dalam berbagai amalan, karena melayu percaya bahwa semua amalan akan tidak tertolak dalam pemahaman Islam jika mengucap Laailaha Illallah Muhammadarosulullah
Makanya jika seorang anak berkelakuan menyimpang dari kaedah yang diatur, maka ia disebut, “Macam anak siarahan, Macam anak tak disyahadatkan”.
“Bergantung kepada satu, berpegang kepada yang Esa”.
“untuk apa meramu samak
kalau tidak dgn pangkalnya
untuk apa berilmu banyak
kalau tidak dengan amalnya”.
“Budak jambi sdg menampi
Alahai budak tinggal sanggulnya
Banyak jampi perkara jampi
Allah jua letak kabulnya”.
Jadi Melayu adalah: “Beragama Islam, beradat resam Melayu dan Berbahasa Melayu”.
Karena ikatan Islam itulah, Orang melayu yang masih berpegang pada konsep tradisi namun akan takut jika tidak disebut Islam.(Muhar Omtatok)
Diposkan oleh M MUHAR OMTATOK ber-Puak Melayu di 09:44
TOK PAWANG
Pawang Bagi Orang Melayu Sumatera Utara bagian Timur
oleh: MUHAR OMTATOK
Batasan mengenai siapa itu Melayu acapkali saling tumpang tindih dan salah kaprah, hal ini terjadi karena adanya pengertian Melayu berdasarkan Bahasa, Ras, Etnis/Puak, atau ada juga berdasarkan religi yaitu Melayu sama dengan Islam.
Setelah pusat imperium melayu berada di Malaka 1400 M dan Parameshwara di-Islam-kan dari Pasai maka sejak itu terbentuk suatu image jati diri Etnis Melayu baru yang tidak terikat kepada faktor genekologis (pertautan darah) namun dipersatukan oleh faktor Adat Resam, Islam dan Bahasa. Melayu Sumatera Timur adalah Orang yang dipersatukan oleh faktor Adat Resam, Islam dan Bahasa Melayu di wilayah Tamiang (masuk dalam Propinsi NAD, berbatas dengan Sumut), beberapa tempat di Sumatera Utara seperti Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Kualuh, Panai, Bilah, Bedagai, Tebing Tinggi dan bahagian Riau seperti Siak Sri Indrapura.Orang Melayu Sumatera Timur terkenal sangat spiritual hidupnya, sehingga fungsi Tok Pawang sangat punya makna.
Tok Pawang bagi Orang Melayu Sumatera Timur adalah seseorang yang mempunyai talenta supranatural yang difungsikan dalam setiap mobilitas kehidupan Orang Melayu. Memindahkan hujan, Memindahkan makhluk halus, Meminak ikan dan sebagainya.
Dalam Masyarakat Melayu Sumatera Timur, Pawang, Tukang Ceritera, Tuan Guru mempunyai arti yang bisa disamakan dengan Tok Bomo ( dukun ).
Dalam Ritual Jamu Laut, Tulak Bala dan Tari Lukah misalnya, pemimpin ritual disebut Tok Pawang, dalam Ritual Mandi Berminyak disebut Tuan Guru atau Orang Pintar.
Kata Dukun sendiri, bagi Orang Melayu Sumatera Timur sering di tabalkan untuk Dukun Patah (tabib spesialis tulang), Dukun urut/ Tukang Kusuk (pemijat) atau Dukun Beranak (Bidan tradisional).
Di perkampungan yang sudah ada bidan, terkadang dukun beranak tetap difungsikan karena diyakini bahwa dukun beranak mempunyai kemahiran ganda yaitu membantu persalinan dan juga menguasai ilmu ghaib. Diyakini bahwa perempuan yg akan dan sedang menjalani persalinan sering diganggu makhluk gaib. Dukun Beranak membuat Buhul atau memotong & menyimpul tali pusat bayi lelaki dengan 7 dan bayi perempuan dengan bilangan 6 sebagai syarat tuah.
PAWANG JAMU LAUT
Nelayan Melayu Sumatera Timur sangat percaya akan kekuatan gaib yang ada di laut bisa mempengaruhi tangkapannya. Orang yang mampu bernegosiasi dengan jembalang laut dan mambang laut (makhluk gaib di laut) adalah Tok Pawang Jamu Laut.
Seseorang menjadi Tok Pawang Jamu Laut merupakan profesi turun temurun yang kabarnya tidak bisa terelakkan, jika tidak ingin kena fuaka. Tok Pawang biasanya sudah berusia lanjut, mengetahui silsilah kampung makhluk dan prosesi jamu laut serta wajib memahami siroh nabi dan aksara arab gundul. Tok Pawang sangat disegani dilingkungan masyarakat nelayan melayu sumatera timur karena selain mampu mendongkrak hasil tangkapan ikan, ia juga diyakini dan terbukti bisa memerintahkan makhluk gaib yang ada dilaut untuk menyembunyikan ikan-ikan yg ada dilaut.
PAWANG MANDI BERMINYAK
Dlm Ritual mandi berminyak, Tok Pawang disebut Tuan Guru atau Orang Pintar yang merupakan profesi warisan juga. Ritual ini berhubungan dengan kesaktian, kekebalan atau beladiri hingga Tuan Guru adalah sosok yang piawang dalam ilmu beladiri atau kesaktian melayu.
PAWANG TARI LUKAH
Sewaktu pertunjukan ritual tari lukah, Tok Pawang menyanyikan mantera sehingga seorang pawang tari lukah mesti berbakat berlagu. Sewaktu ia mendendangkan mantera, ia dapat membuat hadirin trance, kesurupan, seiring musik yg mengiringi. Pawang Selalu menetapkan waktu yang sesuai untuk melakukan pertunjukan. Ia menguasai pemahaman makna 30 nama hari berdasarkan perjalanan bulan. Sehingga tari lukah ditetapkan pada hari baik sesuai almanak yg dipahami Tok Pawang.
PAWANG TULAK BALA
Biasanya Tok Pawang tulak bala dalam sebuah ruwatan kampung tidak satu orang. Mereka bersama-sama mempersiapkan ritual dan berkolaborasi bengan perbedaan kebisaan dan kepahaman. Mereka biasanya memahami ilmu-ilmu persulukan.
JAMPI - JAMPI PUAK MELAYU
oleh: M MUHAR OMTATOK
Orang Melayu, menyebut mantera dengan sebutan beragam, misalnya Jampi, Tuju dan lain-lain. Mantera sebagai ujar-ujaran religi dan magi, sebenarnya berarti Pesona.
Keduaa kata ini sering muncul dalam membicarakan mantera. Secara sederhana perbedaan dua kata ini adalah bahwa religi berarti agama sedangkan magi berarti ilmu gaib.
Dr.H.Th. Fischer menganggap lahirnya konsep religi dan magi berasal dari timbulnya kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme. Animisme dimaksudkan sebagai kepercayaan terhadap adanya roh. Orang yang percaya kepada roh merasa terikat dan bersikap menghamba kepada roh itu. Sementara dinamisme dimaksudkan sebagai kepercayaan terhadap adanya tenaga tidak berpribadi di dalam diri manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda. Tenaga atau kekuatan itu dapat juga terdapat pada kata-kata yang diucapkan atau dituliskan atau direkamkan (dimasukan) pada objek lainnya. Kepercayaan terhadap tenaga tidak berpribadi atau dinamisme ini menjadi magi (lihat Fischer, 1980:153).
Perbedaan kepercayaan yang mendasari timbulnya dua konsep itu akibatnya adanya perbedaan sikap orang yang memiliki kepercayaan tadi. Pada religi manusia bersikap mengabdi atau menghamba kepada kekuasaan atas alami. Pengabdian atau penghambatan menjadikan manusia melakuakan sembahyang dan penyerahan, penghambatan, pemuja, permohonan, dan terima kasih. Upacara religius juga merupakan ungkapan pengabdian manusia kekuasaan luhur yang menggembang kehidupan manusia.
Sementara itu, pada magi, manusia bersikap mempengaruhi kekuasaan atas alam untuk menggenggam nasibnya sendiri atau mungkin nasibnya orang lain. Upacara magis di maksudkan untuk mendapatkan pengaruh yang dilaksanakan menurut aturan-aturan yang tertentu. Cara yang betul, perlengkapanyang sesuai dengan aturan, pemilihan waktu dan tempat yang benar, pembawa atau pelaku yang berwenang akan membawa keberhasilan dalam dapatkan pengaruh. ( lihat Fischer, 1980:142-143 ).
Pemilik Jampi/Mantera
Hubungan antara manusia dengan dunia gaib sebagaimana dalam praktek perbuatan religius dan magis, dapat dilaksakan oleh siapa pun namun, jika urusan berkomunikasi dengan dunia gaib itu berkenaan dengan urusan yang penting, orang akan meminta bantuan kepada orang yang di anggap ahli, berwenang,atau professional. Di masyarakat Melayu, orang yang dianggap ahli tersebut disebut Tok Pawang, Tukang Ceritera, Tuan Guru mempunyai arti yang bisa disamakan dengan Tok Bomo ( dukun ).
Jampi/Mantera dapat di pakai oleh siapa saja. Namun, dalam hal-hal khusus atau luar biasa, pada saat seseorang merasa tidak mampu melakukannya,misalnya karena ‘sesuatu yang menghalangi, maka urusan menggunakan jampi diserahkan kepada ‘Orang Pintar’ atau Bomoh yang berfungsi sebagai perantara atau seorang yang memilik maksud tertentu atau menderita penyakit dengan dunia gaib.
Koentjaraningrat membedakan pemilik mantera profesional sesuai dengan karakteristik tugasnya menjadi tiga yaitu pendeta, dukun, dan syaman. Sementara itu Fischer membedakan pemilik mantra sesuai dengan efek positif dengan efek negatif dari hasil pekerjaannya itu menjadi dua yaitu pawang dan tukang sihir. Pendeta, dukun, dan syaman ini jika dikorelasikan ke Melayu maka disamakan dengan ‘Tuan Guru’, ‘Tok Pawang’ dan ‘Bomoh’.
Diksi dan Strukturalisme
Scott menyebutkan kata diction berasal dari kata latin dicere, dictum, yang berasal mengatakan. Secara singkat diksi didefinisi sebagai pilihan dan penyusunan kata-kata di dalam pidato dan karangan tertulis ( Scott, 1997: 77 ). Sementara itu, Abrams mendefinisikan diksi sebagai pilihan kata-kata, fase dan kiasan. Diksi dapat di analisis dengan menggunakan beberapa kategori sesuai dengan tingkat kosa kata dan frasenya, misalnya abstrak atau konkret, keseharian atau formal, teknis atau umum, liberal atau figurati, asing atau kedaerahan, dan kuno atau kontemporer( Abrams, 1981: 140 ).
Mantera memiliki bahasa yang khas, yang dapat disebut sebagai diksi mantra. Misalnya penggunaan dan pemanfaatan potensi bunyi, kata-kata, frase, tipe-tipe kiasan dan simbolisme, masuknya kata-kata tabu atau sacral, serta sejumlah pilihan kata lainnya yang berbeda dan berlainan dari ungkapan verbal di luar mantra. Kekhasan diksi mantra bertolak dan efek khusus yang ingin di capai atau referensi khusus yang ditunjuk. Mantra menunjuk pada dunia gaib dan ingin mendapatkan efek magis dari dunia itu.
Jika kita berpandangan sempit, mungkin kita akan berfikir bahwa pembahasan ini akan mengembalikan Orang Melayu ke era jahiliah.Namun jampi/mantera sebagai karya sastra, merupakan bahan kajian, sebagai salah satu poin pengungkap zaman dimana jampi/mantera itu dipergunakan.
Robet Scholes mengatakan bahwa strukturalisme menempati kedudukan yang istimewa dalam studi sastra karena berusaha membangun suatu model system sastra sebagai referensi eksternal bagi karya individual yang dikaji.
Jantung ide structural adalah gagasan tentang system (the idea of system), suatu realitas yang lengkap memiliki aturan sendiri, yang disesuaikan dengan kondisi baru dengan mentransformasikan ciri-ciri utamanya sejauh mempertahankan struktur sistemnya. Setiap nilai sastra mulai dari kalimat individual sampai pada keseluruhan urutan kata dapat dipandang dalam hubungannya dengan konsep system. Secara khusus dapat dilihat karya individual, genre sastra, dan keseluruhan sastra sebagai system yang berhubungan, serta kesusastraan sebagai suatu system di dalam system yang lebih luas dari kultur manusia (Scholes, 1976 : 10-11).
Konsep dan gagasan strukturalisme, sebagaimana diterangkan oleh Abrams dan Scholes di atas, dijadikan titik tolak dalam menyikapi objek kajian. Dengan pendekatan structural maka operasional kajian diarahkan pada elemen-elemen mantra sebagai struktur verbal yang otonom, yang meliputi diksi, kalimat, dan komposisi seutuhnya. Dengan cara kerja ini dapat dideskripsikan ciri-ciri wujud komposisi mantra beserta seperangkat aturan estetikanya.
Memahami mantra sebagai suatu system yang tersangkut di dalam system yang lebih luas dari kultur manusia, dapat pula dideskripsikan keseluruhan resitasi mantra yang juga melibatkan komponen-komponen lain di luar mantra, sebagaimana tampak dalam praktek upacara magis sebagai satu keutuhan penyajian.
Konsep pendekatan fungsional dalam penelitian ini mengambil konsep pendekatan fungsional dalam studi antropologi. Di bawah ini merupakan kutipan tentang fungsionallisme yang oleh Malinowski.
“Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menurut Malinowski fungsi dari satu unsure budaya adalah kemampuan untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat”. (Ihromi,ed. 1981:59-60.).
Berbeda dari Malinowski, A.R. Radcliffe-Brown memandang timbulnya bebagai aspek perilaku sosial didorong untuk mempertahankan struktur social masyarakat. Struktur social dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada (Ihromi, ed. 1981: 61). Teori fungsionalsme Redcliffe Brown ini lazim disebut teori fungsionalisme struktural.
Dalam bukunya Struktur dan Fungsi Masyarakat Primitif (terjemahan Ab. Rajak Yahya), Redcliffe-Brown menyebutkan bahwa konsep fungsi melibatkan struktur yang terjadi dari satu rangkaian hubungan di antara unit entity. Dengan kata lain, konsep fungsi berkaitan dengan peranan dan sumbangan suatu unit entity pada keseluruhan yang lebih luas. Penerapan konsep itu akan menghadapkan tiga masalah yang saling berkaitan. Ketiga masalah itu adalh sebagai berikut.
(a) Masalah Morfologi
Bagaimanakah jenis struktur yang ada? Apakah perbedaan dan Persamaannya? Bagaimanakah klasifikasinya?
(b) Masalah Fisiologi
Bagaimanakah struktur itu menjalankan fungsinya?
(c) Masalah Evolusi
Bagaimanakah jenis yang baru daoat terjadi? (Redcliffe-Brown, 1980: 208-209).
Bertolak dari metode ethnografi berintegrasi secara fungsional, Kaberry (1957) membagi fungsi sosial adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial ke dalam tiga tingkatan abstraksi.
(a) Tingkatan Abstraksi I
Fungsi sosial dari adat, pranata sosial atau unsure kebudayaan, pengaruh atau efeknya terhadap adapt, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.
(b) Tingkatan Abstraksi II
Fungsi sosial dari adat, pranata sosial atau unsure kebudayaan, pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang sikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
(c) Tingkatan Abstraksi III
Fungsi social dari adapt atau pranata sosial, pengaruh efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu (Koentjaraningrat, 1982: 167).
Dalam penelitian yang termasuk ke dalam ruang lingkup kajian bahasa dan sastra ini, teori fungsional dalam lapangan kajian antropologi tidak akan diambil secara utuh, tetapi akan dipilih deduai dengan tujuan yang hendak dicapainya.
Berdasarkan gagasan aliran fungsionalisme yang tertera di atas, Jampi atau tuju dapat dianggap sebagai suatu lembaga dari suatu masyarakat tertentu. Jampi atau tuju memiliki bentuk dan teknik tertentu, sementara itu juga memiliki kegunaan dan pemakaian dalam masyarakat. Lebih jauh Jampi dapat dikaji kaitannya dari sudut ekonomi, sosiologi, religi, dan magi. Namun, kajian Jampi dalam penelitian ini tidak akan masuk sejauh itu.
“Anyut buluh dari hulu anyutlah dengan ala intan urat – uratnya,
anak diayun indung diburu menunggu tunam jadi ubatnya. …”
Penggalan jampi tersebut menyiratkan dan mengungkap bahwa disaat itu sudah dipakai jasa sungai untuk menghanyutkan bambu yang diambil dari hulu bersama dengan akar-akarnya, menuju ke hilir. Dalam jampi ini juga mengenalkan kita, jika berburu maka anak binatang buruan tidak turut diburu, namun dirawat dengan baik untuk menjaga ekosistem.
‘Hai Datuk nan besemayam di tengah rebat, bantah usah engkai diaku, turut hendakku…’
Kalimat pada jampi ini bisa kita telaah dari sisi modalitas epistemik ’keharusan’ dalam berbahasa. Dinyatakan dengan keterangan menjelaskan verba, atau inti dari predikat, seperti dua kata ‘Bantah usah” yang berarti ’harus’ patut dan perlu yang berarti mestinya. Kata Bantah usah lebih keras dari pada kata patut dan seharusnya. ‘Kami harus berbicara’, sehingga bisa dilihat bahwa Orang Melayu saat itu telah mempunyai ketegasan dalam berbicara namun tetap beretika.
Ada pula beberapa kosa kata yang kita temukan dalam beberapa jampi yang membuat pemahaman bahwa sezamannya telah atau ada sesuatu itu. Dalam jampi kita bisa menemukan bahwa masyarakat Melayu bersentuhan dengan masyarakat luar di zaman itu. Misalnya kita menemukan koa kata Arab dan sebagainya.
Melayu dan Spiritual
Orang Melayu sangat dekat kehidupannya dengan dunia spritual. Ini mungkin dikarenakan selain Islam sebagai agama wajib orang Melayu, Pagan, Hindu dan Buddha pernah mempengaruhi peradaban Melayu. Hampir setiap perguliran kehidupan, tidak terlepas dari ritual atau pun do'a sebagai mantera.
Pada masyarakat Melayu Sumatera Utara di tepi pantai seperti : Tanjungbalai, Batubara, Pagurawan, Pantai Cermin, Bedagai, Belawan, atau pun di pesisir timur Langkat. Para nelayan percaya lautan dikuasai oleh kuasa gaib. Mereka menyebutnya Mambang Laut.
Mambang laut terbagi atas delapan penguasa dan tinggal 8 penjuru mata angin, yaitu
Mayang Mengurai, Laksemana, Mambang Tali Arus, Mambang Jeruju, Katimanah, Panglima Merah, Datuk Panglima Hitam dan Baburrahman di Baburrahim.
Datuk Panglima Hitam penguasa utara sering juga disebut sebagai Datuk Hitam. Beliau adalah penghulu dari sekalian Mambang.
Masyarakat Melayu yang tidak bersentuhan dengan kebudayaan pantai juga mempercayai adanya Jembalang sebagai penguasa air, tanah atau pun angin. Walau pun budaya Islam sangat melekat bagi kehidupan orang Melayu, kepercayaan terhadap Mambang atau pun Jembalang masih tetap terpelihara dan dicampurbaurkan dengan tradisi keislaman. Ritual Tepung Tawar atau pun Upah – Upah sebagai warisan Pagan dan Hinduisme masih memakai awalan mantera “Kuuuuuuuuuuruuuuus Semangat” walau pun kemudian dikombinasiakn dengan bacaan – bacaan Islam seperti Syalawat. Pembuktian bahwa perguliran kehidupan orang Melayu tidak terlepas dari dunia supranatural bisa kita contohkan sebagai berikut :
“Tongon…tongon…tongon…, batolur engkau sebijik kalau tidak batolur kujual kau ke pasar limo. Rindu kau samo ayah engkau”,
Ini merupakan mantera untuk ayam yang lambat bertelur.
“Sirihku siranting kuning, kumakan di rumpung tolang, cahayo gigiku seperti omas yang kuning. Cahayo mukoku seperti matoari colang cemorlang, tidak dapat ditontang nyato. Cahayo gigiku roguh nasi moncorhong dayang dayad.”
Mantera di atas digunakan untuk memutihkan gigi dan menguatkannya.
“Wali wali batungkat, batang geledek waktu syetan menggamit si fulan disitu juga semangat si fulan pulang. Jangan engkau lalai di tengah rimba, jangan engkau lalai di pinggir sungai, Jangan engkau lalai di tepi pantai, jangan engkau lalai di tengah balai, Jangan engkau lalai di laman, Jangan engkau lalai di tengah rumah, pulang engkau ketempat engkau sendiri di anjung yang tinggi di balai yang besar.”
Mantara di atas digunakan dalam ritual jemput semangat.
“Assalamualaikum aku kirim salam pada jin tanah aku tahu asalmu keluar dari air ketuban, bukan aku melepas bala mustaka, sangkakah, sangkipad melepas bala mustaka. Bukan aku melepas bala mustaka, jin baru melepas bala mustaka. Jin yang tua melepas bala mustaka.”
Mantra di atas untuk persembahan jamu laut.
“Menyia Muhammad Allah lalu”
Mantera singkat di atas digunakan untuk ilmu penderas pukulan.
“Diam Muhammad Allah lalu”
Digunakan dalam ilmu cuca untuk penampar.
Mantra berasal dari bahasa sansekerta yang bermakna pesona. Ianya semakna dengan do’a atau pun jampi orang Melayu di rantau ini menjadikan mantera sebagai pembuka laku agar tuah Sang Maha tercucur restu dalam setiap kegiatan.
Adalah lazim apabila bahasa mantera menggunakan bahasa sansekerta yang dibawa Hinduisme dan Budhaisme, bahasa Melayu Tambo yang dipengaruhi aliran penghayat tempatan serta bahasa Arab atas pengaruh kebudayaan Islam. Dalam pengucapan mantera orang Melayu mempunyai kiat yang agak unik, ada ucapan dalam bentuk narasi biasa, ada ucapan dalam bentuk narasi berlagu bahkan ada ucapan dalam bentuk bersenandung. Inilah khazanah budaya yang mungkin saja kita tidak lagi sefaham dengan pola ini-pola ini.
Lukah Menari
“Tahasih…tahasih mak sibanding siatlukah jumpa bamban si kutarih. Kalau nak tengok lukah menari, nak tengok kaya Allah. Keceti kambing keceti ketasik kegumba jangan. Ingat…ingat… dalam hati kataku tadi lupa jangan. Ingat – ingat dalam hati kataku tadi lupa jangan. Kekebon kita kekebon jangan dibeli mangkuk kerang berhimpun kita ke balai datuk mak sibanding gila sorang. Hilir lugoh mudik lugoh jumpa bembam betali – tali, bukan mudah pekara mudah ada lukah pandai menari.”
Mantera di atas dipergunakan agar lukah atau bubu bisa menari sendiri sambil dibisikkan pada lukah : "usah kau bagi malu bangkitlah menari". Mantera di atas diawali dengan Bismillah dan diakhiri berkat Laaailahaillallah. Jika pembaca mencoba mantera ini pada lukah, jangan terkejut jika luka itu menari sendiri. Jika lukah diikat dengan pena ia akan mampu menulis sendiri apa saja yang kita pertanyakan.
Memindahkan Penunggu Kayu
“Assalamualaikum, walaikumsalam al habib gulkarim, aku tau asal mulamu jadi tatkala loh pun belum, kalam pun belum. Kala laut pupak pupakan gunung lumpat kijangan. Tatkala rumput ngarum – ngarum, hujan merenyai renyaian tunggulah kunun ahoi si buah telor kulit bernama alah intan ahoi kayu selemak kening menanam kayu sialang ahoi oi akar menama kancing bumi banir manaham galah bejuang kulit mename Allah intan ahoi si mali nidai jalan mename ampailah tuan li puulr mename dian sebatang cabang mename alah payung lerang buah mename alah intan ahoi. Silayang – layang ranting mename payung Fatimah”
Mantra di atas dijadikan lagu untuk memuja kayu. Oleh pawang untuk menebang kayu yangn diyakini punya penunggu.
Mengambil Madu Lebah
“Anyut buluh dari hulu anyutlah dengan ala intan urat – uratnya,
anak diayun indung diburu menunggu tunam jadi ubatnya.
Lama sudah tidak ke ladang, habislah padi alah intan ahoi dililit kangkung
lama sudah pawang tidak di pandang hatiku beramuk sedih yang di jantung.
Rancung rancunglah kaki cendawan jangan terancung sayang ahooooiii.
Sibuku buluh, kalaulah ada kasih di awan bintanglah jangan tumbuh di beri tumbuh.
Kalau gugur gugurpun nangka jangan ditimpa alah intan ahoi si cabang pawoh.
Jikalau tidur tidurlah mata jangan bercintalah pawang yang jauh.
Baik – baiklah memegang kemudi supaya usah telangar karang.
Baik – baiklah memegang kemudi supaya jangan orang di dengar orang".
Mantera di atas dilagukan oleh pawang pengambil madu lebah. Diyakini lebah tidak akan menyerang walau tanpa menggunakan asap atau pun penutup kepala.
Memanggil Angin
“Angin Barat gelombang barang oiiii, angin memecah di pintu karang.
Sedayangku tinggal dendam melarat kekasihku lahku pergi okurung dendam bekurung habis tunam tujuh pengikat putus disambar si raja wali,
maksud sedangku sudahlah dapat rayalah musim kembali lagi.
Anak cina menjual bawang.
Bawang dijual halia juga.
Sedayangku gagah melewang takut marah kunun pawang sedia.”
Mantera di atas dibaca sambil bersenandung untuk memanggil angin. Ini biasanya digunakan untuk mendatangkan hujan atau menghalau hujan. Bagi nelayan digunakan juga sebagai pedoman arah tangkapan. Tok bomoh atau dukun mengawali terawangannya terhadap ulah bomoh yang lain juga memakai mantera ini.
Penawar Bisa
“Bismillahirrahmanirrahim, aku tau asal mulamu bisa darah haid siti hawa, surga akan tempatmu, cabut bisamu, naikkan bisa tawarku, kabul do’a pengajar guruku, mustajab kepada aku, menawari bisa…………dikulit jangan si polan. Tawar Allah tawar Muhammad, tawar baginda Rasullah berkat Lailahaillallah".
Ini adalah mantra tawar bisa digunakan untuk mengobati seseorang yang tersengat bisa atau racun binatang. Seperti : ular, lipan, kalajengking dan binatang buas lainnya. Biasanya digunakan bahan bunga berwarna merah atau pun juga air liur yang diambil dengan telunjuk tangan kanan yang ditampung dengan telapak tangan.
Kewibawaan
“Hai manusia, aku tahu asal engkau, mulajadi tatkala engkau ditatang Jibrail di sore ke Magrib, empat puluh empat hari Nur Allah namanya engkau, tujuh hari engkau engkau dikandung Bapak engkau sir Allah namanya engkau, tiga bulan sepuluh hari dikandung ibu engkau kamarullah namanya engkau, jangan engkau melawan aku, jika engkau melawan aku durhaka engkau kepada Allah, durhaka engkau kepada Muhammad, durhaka engkau kepada aku, kabullah aku memakai do’a cuca semula jadi, kabul do’a pengajar guruku, mustajab akan aku berkat Lailahaillallah”
Di atas adalah mantra semula jadi digunakan untuk menimbulkan kharisma, kewibawaan agar disegani oleh manusia.
Wajah Berseri
“Bismillahirrahmanirrahim, hai embun mustika embun, embun bernama Jalalullah, aku memakai mustika embun, aku anak aminullah.”
Mantra mustika embun ini dinaikkan kira – kira pukul 5.30 pagi. Ambil embun dengan kedua telapak tangan, lalu bacakan mantra di atas dan sapukanlah ke wajah searah jarum jam. Mantra mustika embun ini bermanfaat untuk menaikkan seri muka.
Pemanis
“Hai simanggur bulan dan bintang. Matahari terbit di ubun – ubunku, bulan purnama di mukaku, bintang tujuh di keningku, bintang penabur di dadaku. Hai Allah tiada penabur di dadaku. Hai Allah tiada aku kelindihan duduk mak inang canang yang banyak berkat aku memakai si awang yang lebih. Jika aku duduk aku juga yang lebih, jika berdiri aku juga yang lebih. Jika aku berjalan aku juga yang lebih. Dilebihkan Allah, dilebihkan Muhammad, diebihkan baginda Rasullah berkat Lailahaillallah".
Mantera di atas adalah salah satu dari mantera si awang yang lebih yang bermanfaat untuk pemanis. Dinaikkan pada subuh dengan mengambil air liur dengan ibu jari kanan setelah dimantrai sapukan pada wajah, tangan dan dada.
Pelet
“Hai nisan menggarang, nallah mengangkangkan Sariah namanya, engkau yang kata Tuhan mari engkau kemari aku tahu asalmu mula jadi, wadi, muni, mani, maknikam, mari engkau kemari ini tempatnya engkau berkat Lailahaillallah Muhammadarrasulullah.”
Mantera di atas disebut mantera pelepas digunakan untuk memelet seseroang. Caranya adalah tentanglah biji mata seseorang yang akan dipelet sambil membaca mantra pelepas di atas satu nafas kemudian tariklah ke dalam jantung. Anda bisa membuktikan sendiri seseorang itu dengan tiba – tiba akan cinta kepada anda.
Besi Kursani
“Bismillahirrahmanirrahim terdirilah besi kursani di dalam batang tubuhku dak aku mengetahui lahaula walakuwata illabillahi aliulajim yahum kanda dek aku mengetahui. Pil amri saina nan bangkit dek aku lahaula walakuwata illabillahi aliulajim. Sanda manjud Rasullullahi sallallahi alaihi wassallam kullahum sai’an alfatihah”
Mantra di atas adalah salah satu mantera besi kursani. Mantra ini dinaikkan untuk kekebalan pada purnama 13, 14, dan 15.Pengguna mantra ini tidak dibenarkan memulai perkelahian dan dilarang membakar besi ketika dibutuhkan. Pembaca tinggal membaca mantera : “Besi pasak besi kursani, tegang teguh selera dalam badanku berkat Lailahaillallah”.
Dalam adat berilmu orang Melayu mempunyai syarat kemakbulan diantaranya adalah kunci ilmu adalah yakin, dengan yakin ilmu akan makbul, tak boleh mendurhaka orang tua dan guru, ilmu dinaikkan pada saat – saat mustajab yang sudah dinaikkan saja. Dalam ilmu kedigjayaan melayu dikenal langkah panglima yaitu : Saat pelaksanan pengizasahan dengan ritual mandi minyak. Pelaksanaan ritual diselenggarakan pada pukul 18.00 – 01.11 tengah malam dan dikecualikan pada hari Sabtu malam Minggu karena dipercayai hari ini kurang dingin dalam tuah keilmuan. Arah dan duduk sila juga menentukan kemakbulan dari sebuah mantera. Orang Melayu percaya bahasa bercarut atau ucapan makian mengurangi kaidah keilmuan. Di samping itu ibadah kepada sang Ilahi adalah penguat dari suatu ilmu.
Demikianlah kilasan khazanah mantera dalam masyarakat Melayu.
Jika tiada puas Tuan dapatkan
Harap hamba, Tuan maafkan
Barang yang salah tolong betulkan
Itulah saja hamba pohonkan
Diposkan oleh M MUHAR OMTATOK ber-Puak Melayu di 10:09
Puisi MELAYU oleh Datuk Usman Awang
Melayu itu orang yang bijaksana
Nakalnya bersulam jenaka
Budi bahasanya tidak terkira
Kurang ajarnya tetap santun
Jika menipu pun masih bersopan
Bila mengampu bijak beralas tangan.
Melayu itu berani jika bersalah
Kecut takut kerana benar,
Janji simpan di perut
Selalu pecah di mulut,
Biar mati adat
Jangan mati anak.
Melayu di tanah Semenanjung luas maknanya:
Jawa itu Melayu, Bugis itu Melayu
Banjar juga disebut Melayu,
Minangkabau memang Melayu,
Keturunan Acheh adalah Melayu,
Jakun dan Sakai asli Melayu,
Arab dan Pakistani, semua Melayu
Mamak dan Malbari serap ke Melayu
Malah mua'alaf bertakrif Melayu
(Setelah disunat anunya itu)
Dalam sejarahnya
Melayu itu pengembara lautan
Melorongkan jalur sejarah zaman
Begitu luas daerah sempadan
Sayangnya kini segala kehilangan
Melayu itu kaya falsafahnya
Kias kata bidal pusaka
Akar budi bersulamkan daya
Gedung akal laut bicara
Malangnya Melayu itu kuat bersorak
Terlalu ghairah pesta temasya
Sedangkan kampung telah tergadai
Sawah sejalur tinggal sejengkal
tanah sebidang mudah terjual
Meski telah memiliki telaga
Tangan masih memegang tali
Sedang orang mencapai timba.
Berbuahlah pisang tiga kali
Melayu itu masih bermimpi
Walaupun sudah mengenal universiti
Masih berdagang di rumah sendiri.
Berkelahi cara Melayu
Menikam dengan pantun
Menyanggah dengan senyum
Marahnya dengan diam
Merendah bukan menyembah
Meninggi bukan melonjak.
Watak Melayu menolak permusuhan
Setia dan sabar tiada sempadan
Tapi jika marah tak nampak telinga
Musuh dicari ke lubang cacing
Tak dapat tanduk telinga dijinjing
Maruah dan agama dihina jangan
Hebat amuknya tak kenal lawan
Berdamai cara Melayu indah sekali
Silaturrahim hati yang murni
Maaf diungkap senantiasa bersahut
Tangan diulur sentiasa bersambut
Luka pun tidak lagi berparut
Baiknya hati Melayu itu tak terbandingkan
Selaga yang ada sanggup diberikan
Sehingga tercipta sebuah kiasan:
"Dagang lalu nasi ditanakkan
Suami pulang lapar tak makan
Kera di hutan disusu-susukan
Anak di pangkuan mati kebuluran"
Bagaimanakah Melayu abad dua puluh satu
Masihkan tunduk tersipu-sipu?
Jangan takut melanggar pantang
Jika pantang menghalang kemajuan;
Jangan segan menentang larangan
Jika yakin kepada kebenaran;
Jangan malu mengucapkan keyakinan
Jika percaya kepada keadilan.
Jadilah bangsa yang bijaksana
Memegang tali memegang timba
Memiliki ekonomi mencipta budaya
Menjadi tuan di negara Merdeka.
JUADAH PUAK MELAYU
Oleh: Muhar Omtatok
Sudah layu biar di paya
Jikalau gugur biarlah sudah
Juadah Melayu sedap rasanya
Lidah beguyang, tak hendak sudah
Orang membeli ikan belanak
Ikan dimasak si Gulai Lemak
Orang Melayu pandai bertanak
Batang sekah menjadi lemak
KUE RASIDAH
Kue Rasidah merupakan Kue khas Orang Melayu. Puak Melayu di Sumatera Utara pada acara Nasi Hadap Hadapan di majelis perkawinan, akan menghidangkan berpuluh juadah; salah satunya adalah Kue Rasidah.
Bahan-bahan Kue Rasidah:
1/2 Kg Tepung Roti
1/2 Kg Gula Pasir
2 1/2 ons Mentega atau Minyak Lembu
Pewangi
3 sdm Bawang Goreng
Cara membuat:
1. Masaklah gula dengan air 1 cawan, dinginkan.
2. dingin tambahkan 2 cawan air lagi dan aduk bersama tepung roti sampai larut merata.
3. pewangi, masukkan dalam kuali.
4. Tanak sampil diaduk pelan, masukkan Minyak Lembu sedikit demi sedikit.
5. Masak sampai mengkilat dan tidak lengket.
6. Angkat. Buatlah Seperti buah jambu air, bubuhi atasnya dengan bawang goreng.
LEPAT SEGAN
Kue Puak Melayu yang dibungkus dengan daun pisang ini, oleh Puak Melayu di SumateraUtara & Riau disebut Lepat Segan. Di Minang Kue ini disebut Lapek Sagan.
Segan dalam Bahasa Melayu mempunyai makna halus untuk memaknai Kerja yang tidak sulit.
Bahan-bahan:
1/2 kg Beras Pulut (Ketan)
1 sisir Pisang Raja Serai (yg sudah sangat matang)
1 butir Kelapa Parut
5 sdm Gula Merah / Gula Pasir
Garam
Cara membuatnya:
Seluruh bahan diadon menjadi satu, sambil diremas-remas hingga menyatu.
bungkus dengan daun pisang berbentuk bantal dengan kedua sisi daun yang berlebih ditekuk kebawah, masing-masing sebanyak 2 sdm adonan.
kukus selama 30 menit.
KUE CARA
Bahan-bahan:
3 cawan Tepung Roti
4 1/2 cawan Santan dari 1 butir Kelapa
4 butir Telur Ayam Kampung
3 sdm Mentega
1/2 sdt Garam
2 ons Daging
Pala
Merica
Daun Sup
1 sdm Bawang Goreng
Cara membuat:
1. Kocok telur
2. Masukkan telur bersama tepung dan garam ke dalam santan, aduk
3. Cincang daging hingga halus, tumis dengan mentega. Masukkan bawang, daun sup, pala dan merica
4. Masukkan adonan ke dalam cetakan Pacis yang sudah dipanaskan diatas tungku.
5. Lalu masukkan adonan daging cincang.
KUE PACIS
Bahan-bahan:
2 cawan Tepung Roti
3 cawan Santan dari 1 Kelapa
3 butir Ayam Kampung
3 sdm cairan Mentega
4 sdm Susu
1 ons Gula Pasir
1/2 dt Garam
Vanili
Cara membuat:
1. Telur dikocok hingga kembang, maukkan santan, mentega cair, Vanili, Garam, dan Tepung Roti. Aduk rata
2. Cetakan Pacis yang sudah didiang di atas tungku diolesi dengan mentega
3. Tuang adonan dalam bulatan-bulatan cetakan, tutup
4. Setelah setengah masak, bubuhi 1/2 sdt Gula Pasir, tutup hingga tanak
TENGGULI DURIAN
Tengguli Durian sedap dimakan dengan Pulut Kukus ataupun Roti Tawar. Tak Jarang juga yang gemar makan Tengguli Durian dengan Roti Kelatak ataupun juga Lemang Pulut.
Bahan-bahan:
2 buah Durian Tembaga
3 cawan Santan dari 1 Kelapa
1/2 tepek Gula Merah
1/2 sdt Garam
Kayu Manis
Cara membuat:
1. Saring Gula Merah yang sudah dimasak dengan air
2. Masukkan seluruh nabu Durian, Santan, Kayu manis dan Garam
3. Aduk hingga kental
KEINDAHAN SENI RAGAM HIAS MELAYU
oleh: M Muhar Omtatok
Saat memasuki sebuah bangunan arsitektur tradisional, di dalamnya kita akan mendapatkan adanya perlengkapan interior yang juga khas daerah setempat, termasuk pilarnya, ukiran daun pintu sebuah rumah, ornamen lubang angin di atas pintu kamar dan jendela, kursi dan meja serta detail arsitektur lain. Itulah Seni ragam hias atau ornamen yang merupakan warisan budaya tradisi, saat ini masih biasa di jumpai di seluruh pelosok tanah air, walau tidak terlestari seperti zamannya.
Ornamen ragam hias Melayu Sumatera Timur, selain sebagai nilai estetik pada sebuah bangunan arsitektur, juga kita temukan pada seni kriya bahkan pada makanan-makan tertentu yang di-tebuk (di-ukir); misalnya saja pada manisan tradisional yang disebut Halua. Dari Khazanah Melayu Sumatera, ada beberapa motif Ragam Hias yang digunakan dalam berbagai kepentingan. Pada sebuah kapal, lancang atau perahu dibuat ornamen khusus. Bahkan beberapa Ragam Hias juga mempunyai yang disejajarkan dengan Rajah Spiritual.
Buku Bemban merupakan motif Ragam Hias yang dianyam yang beragam. Ada yang sederhana seperti diatas hingga sarat hiasan. Mempunyai filsafat akan kebaikan dan kemakmuran.
Dalam Kuliner Melayu, mengenal manisan buah yang disebut Halua. Salah satu bahan adalah buah betik (pepaya0 yang dianyam menjadi motif buku bemban. Dahulu disajikan pada golongan bangsawan saja.
Motif Melayu ini disebut Sayap Layang-Layang. Dimaknai sebagai Simbol Kegagahan, Mampu Menghadapi Halangan & Rintangan, Penangkal Kejahatan dan Simbol Memperoleh Hasil Usaha yg maksimal. Karenanya Atap rumah (kajang angkap) orang Melayu serta haluan kapal, sering dipasang motif ini.
Motif Tapak Sulaiman adalah motif dasar di Melayu, yang bentuknya mengalami berbagai variasi, sebagai simbol kebaikan.
Ornamen ini bernama Siguntang Mahmeru, merupakan simbol kejayaan, Keabadian dan kemakmuran.
Walau di Melayu, ornamen hewan secara utuh sangat jarang bisa kita temukan, namun motif Naga Bekaluk di atas tampak utuh. Ini merupakan simbol kejantanan, keperkasaan dan percayadiri.
Itik Pulang Petang. Simbol kesabaran, kedisiplinan dan taat hukum.
Lebah Begantung. Pelambang kesetiaan, punya faedah yang banyak, rajin, tawar penyakit, begagan, beturai, bersyahadat, namun apa bila musuh menjual pantang tak dibeli dan selalu mendatangkan kebaikan.
Semut Beriring. Sebagai lambing kerajinan, gotong royong, tetap pendirian dan tahu diri.
Badak Balek. Simbol pagar diri
Selembayung. Orang Melayu meletakkannya di puncak rumah, sebagai simbol tangkal gaib, kemakmuran dan ketentraman.
TRADISI PANTANGAN MELAYU
Sewaktu saya masih tinggal bersama orangtua di kampung halaman, ketika itu saya masih kanak-kanak hingga remaja. Banyak pantangan yang di munculkan tanpa saya tahu alasan logis untuk itu. Dilarang bersiul di dalam rumah, nanti ular masuk rumah. Dilarang menyapu pada malam hari, nanti hantu langsuir datang. Dilarang duduk di kursi jika saat itu ayah sedang duduk di tikar. Pada waktu itu, sebagai anak yang ingin tetap dianggap patuh, tentu saja pantang larang itu diikuti saja.
Disetiap suku dan daerah di negeri ini, tentu saja mempunyai pantangan-pantangan tertentu juga. Dalam kesempatan ini, saya akan menguraikan beberapa tradisi pantangan Puak Melayu.
PANTANGAN UNTUK LELAKI
1. Dilarang bersiul dalam rumah, nanti ular masuk.
2. Dilarang kencing atas busut, dikatakan buruk kemaluan.
3. Dilarang mengintai orang mandi, nanti mata ketumbit.
4. Dilarang tidur di tengah padang, nanti emak mati.
5. Dilarang ketawa waktu Maghrib, nanti datang hantu.
6. Kalau tidak tahan berpanas, nanti tunang dilarikan orang.
PANTANGAN UNTUK BAYI
1. Bayi tak boleh dikatakan gemuk, cuma katakan ’kur semangat’ karena dikhawatirkan menjadi kurus.
2. Dilarang memicit mulut bayi, nanti bayi tidak selera makan.
3. Tak boleh meletakkan bayi atas lutut, nanti sakit perut.
4. Sisa makanan bayi tak boleh dimakan oleh ibu bapak, nanti jika besar suka melawan.
5. Tak boleh dicium sewaktu tidur terutama di atas ubun-ubun kepala dan pada pusatnya kerana dikatakan pendek umur.
6. Kain lampin tak boleh direndam, nanti kembung perut.
7. Sewaktu bayi sedang tidur, kadangkala kita melihat dia tersenyum, ketawa dan ingin menangis. Jangan kejutkan kerana dikatakan bayi sedang bermain dengan urinya.
8. Tidak boleh menghembus mulutnya, nanti menjadi bisu.
9. Tidak boleh melihat bayi dari arah ubun-ubunnya, nanti matanya juling.
PANTANGAN SAAT MAKAN
1. Makan pedal ayam, akan mengantuk ketika bersanding,
2. Makan tidak basuh pinggan, nanti lambat dapat menantu.
3. Makan pisang kembar, akan beranak kembar.
4. Makan waktu Maghrib, makan bersama hantu.
5. Makan sisa anak, anak akan degil.
6.. Tidur selepas makan, nanti perut buncit.
7. Makan sambil berjalan, dapat penyakit perut.
8. Bila makan, pinggan tak boleh diletak atas riba, nanti suami diambil orang.
9. Jangan makan nasi di senduk, nanti payah rezeki.
10. Makan bertindih pinggan, akan beristeri dua.
11. Makan telur tembelang, mendapat penyakit barah.
12. Makan dalam pinggan sumbing, dapat anak bibir sumbing.
13. Makan dalam belanga, dapat anak berparas seperti orang tua.
14.Makan berlunjur,akan jadi pemalas.
15.Makan sambil tidur-tiduran, payah dapat rezeki.
PANTANGAN SAAT TIDUR
1. Tidur di muka pintu, alamat dilangkahi hantu.
2. Tidur di atas pohon, nanti dimakan hantu langsuir.
3. Tidur di atas sejadah,nanti berkurap.
4. Tidur selepas makan, nanti ditindih hantu.
5. Tidur melekat nasi di kaki, nanti mimpi hantu.
6. tidur telungkup & menaikkan dua kaki, berarti mendoakan emak cepat mati
PANTANGAN BAGI PEREMPUAN
1. Dilarang menyanyi di dapur, nanti menikah dengan orang yang tua.
2. Dilarang menjahit pakaian di badan, nanti tidak lepas hutang.
3. Dilarang memakan leher ayam, nanti leher terkulai di pelaminan.
4. Pantang bangun kesiangan, nanti sukar mendapat jodoh.
5. Dilarang makan nasi kerak, nanti mendapat anak bodoh.
6. Dilarang mencari kutu ditangga, nanti kahwin dengan yang sudah tua.
7. Dilarang mencucuk jarum pada waktu malam, nanti didatangi sial.
8. Dilarang bercermin di depan cermin retak, nanti wajah pucat di malam pertama.
9. Dilarang pakai baju basah, nanti badan berpanu.
10. Pantang berbual di tangga, nanti dipinang orang di serambi rumah saja.
11. Dilarang makan bertindih piring, nanti menjadi madu orang.
12. Tak boleh menyapu nasi pada waktu malam, nanti pendek rezeki.
13. Dilarang mengerat kuku waktu malam, nanti datang sial.
14. Dilarang makan bertukar piring, nanti kawin cerai.
15. Dilarang meletak piring di tapak tangan ketika makan, nanti akan merampas suami orang.
PANTANGAN BAGI PEREMPUAN HAMIL
1. Dilarang menceritakan dan menghina orang cacat, karena anak yang bakal lahir juga akan cacat.
2. Dilarang memukul dan menyiksa binatang, dikhawatirkan anak yang bakal lahir tida sempurna.
3. Dilarang memaku, memahat, mengail atau menyembelih binatang, anak yang bakal lahit bibir terbelah atau mengalami kecacatan.
4. Dilarang cekcok dengan ibu mertua, akan mengalami kesulitan ketika melahirkan anak.
5. Dilarang makan sotong, anak mungkin tercerut tali pusatnya.
6. Dilarang mencerca atau melihat sesuatu yang ganjil, dikhuatiri akan bakal terjadi.
7. Dilarang minum air tebu atau kelapa di awal kehamilan, anak akan gugur.
8. Dilarang melihat gerhana, anak mendapat tompok hitam atau bermata juling.
9. Dilarang melangkah kucing yang sedang tidur, mata anak tertutup seperti kucing yang sedang tidur.
10. Dilarang menyusup di bawah jemuran, nanti anak akan bodoh.
11. Dilarang makan makanan yang berakar seperti pegaga, nanti terlekat uri.
12. Dilarang tidur waktu tengahari, nanti kepala anak akan menjadi besar.
PANTANGAN BAGI ANAK-ANAK
1. Dilarang duduk atas bantal, nanti pantat berbisul.
2. Tak boleh memotong kuku waktu malam, nanti pendek umur.
3. Dilarang bersiul dalam rumah, nanti ular masuk.
4. Tak boleh menjulur lidah, nanti lidah terpotong.
5. Makan kepala ikan, nanti menjadi bodoh.
6. Dilarang mengangkat kaki ketika meniarap, nanti emak mati.
7. Tak boleh menunjuk pelangi, nanti jari bengkok.
8. Tak boleh makan dalam gelap, dikatakan makan dengan iblis.
9. Dilarang bermain atau keluar rumah waktu senja, nanti disurukkan hantu.
10. Tak boleh gigit kain, nanti gigi berulat.
11. Pedal ayam tak boleh dimakan, nanti susah bersunat.
12. Dilarang bercakap dalam WC, nanti mata ketumbit.
13. Dilarang menunjuk kuburan, nanti jari putus.
14. Dilarang kencing berdiri, nanti ditarik hantu
15. Tak boleh berdiri tertindih kaki, dikatakan akan jauh rezeki.
PANTANGAN SAAT DUDUK
1. Tak boleh duduk atas bantal, nanti dapat bisul.
2. Tak boleh duduk atas tangga ketika Maghrib, nanti dirasuk hantu.
3. Tak boleh menggoyang kaki, nanti tak lepas hutang.
4. Tak boleh duduk atas lesung, nanti berkudis dubur
PANTANGAN DI HUTAN
1. Jangan tidur di tepi sungai, nanti dimakan hantu.
2. Dilarang pegang pohon merah, nanti badan menjadi gatal.
3. Jangan tidur di atas pohon jika tersesat, nanti dijatuhkan hantu.
4. Dilarang bercakap besar ketika di hutan, nanti mendapat bencana.
5. Pantang bersiul di hutan, nanti disambar langsuir.
6. Jangan berteriak di tengah hutan, nanti disahut hantu.
7. Jika terdengar sahutan, jangan dijawab, dikhuatiri suara hantu.
8. Jangan mengambil batu atau benda ganjil di hutan, takut berpenunggu.
9. Dilarang menegur sesuatu yang aneh atau ganjil dihutan, nanti dirasuk atau dapat malang.
PANTANGAN DI SUNGAI
1. Jika nampak air berpusar, jangan hampiri, alamat buaya bergerak atau mengiring.
2. Jika ikan toman membawa anak, jangan melintas di hadapannya, nanti dilompati ke perut.
3. Jika terdengar suara semacam kerbau di tebing sungai, alamat ada buaya mengawan.
4. Dilarang bawa limau purut, nanti dimakan buaya.
5. Jika suara perempuan terdengar waktu Maghrib, alamat jembalang sedang berpesta.
6. Jika kail disambar gondang (siput besar) , alamat rezeki mendatang.
7. Dilarang mengambil tikar hanyut, nanti digulung sanai
Asal Usul Bahasa Melayu
Asal usul perkataan Melayu masih belum dapat disahkan oleh sejarawan.
Bagaimanapun terdapat beberapa bukti sejarah yang cuba mengaitkan asal-usul bahasa Melayu, seperti mana berikut:
1. Catatan orang China yang menyatakan bahawa sebuah kerajaan Mo-lo-yeu mempersembahkan hasil bumi kepada raja China sekitar 644-645 Masihi.
Dikatakan orang Mo-lo-yeu mengirimkan Utusan ke negara China untuk mempersembahkan hasil-hasil bumi kepada raja China.
2. Ada yang mempercayai kerajaan Mo-lo-yeu berpusat di daerah Jambi, Sumatera , daripada sebatang sungai yang deras alirannya, iitu Sungai Melayu.
3. Satu lagi catatan orang China ialah catatan rahib Buddha bernama I-Tsing yang menggunakan kata ma-lo-yu tentang dua buah kerajaan yang dilawatinya sekitar 675 Masihi.
4. Dalam bahasa Jawa Kuno, perkataan ``Mlayu'' bermaksud berlari atau mengembara. Hal ini boleh dipadankan dengan orang Indo-Melayu (Austonesia) yang bergerak dari Yunan.
Asal Usul Bangsa Melayu
Dipercayai berasal daripada golongan Austronesia di Yunan.
Kumpulan pertama dikenali sebagai Melayu Proto.
Berpindah ke Asia Tenggara pada Zaman Batu Baru (2500 Sebelum Masihi)
Keturunannya Orang Asli di Semenanjung Malaysia, Dayak di Sarawak dan Batak di Sumatera.
Kumpulan kedua dikenali sebagai Melayu Deutro
Berpindah ke Asia Tenggara pada Zaman Logam kira-kira 1500 Sebelum Massihi.
Keturunannya orang Melayu di Malaysia
Dikatakan lebih bijak dan dan mahir daripada Melayu Proto.
Bijak dalam bidang astronomi, pelayaran dan bercucuk tanam.
Bilangan lebih banyak daripada Melayu Proto.
Menduduki kawasan pantai dan lembah di Asia Tenggara.
Orang ini, kumpulan pertama dan kedua, dikenali sebagai Austronesia.
Bahasa-bahasa yang terdapat di Nusantara sekarang berpunca daripada bahasa Austronesia ini.
Nik Safiah Karim menerangkan bahawa bahasa Austronesia ialah satu rumpun bahasa dalam filum bahasa Austris bersama-sama dengan rumpun bahasa Austroasia dan Tibet-China (rujuk carta alir di atas).
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Golongan Sumatera bersama-sama dengan bahasa-bahasa Acheh, Batak, Minangkabau, Nias, Lampung dan Orang Laut.
Perkembangan Bahasa Melayu
Ahli bahasa membahagikan perkembangan bahasa Melayu kepada tiga tahap utama iaitu:
* Bahasa Melayu Kuno,
* Bahasa Melayu Klasik dan
* Bahasa Melayu Moden.
Bahasa Melayu Kuno
Merupakan keluarga bahasa Nusantara
Kegemilangannya dari abad ke-7 hingga abad ke-13 pada zaman kerajaan Sriwijaya, sebagai lingua franca dan bahasa pentadbiran.
Penuturnya di Semenanjung, Kepulauan Riau dan Sumatera.
Ia menjadi lingua franca dan sebagai bahasa pentadbiran kerana:
* Bersifat sederhana dan mudah menerima pengaruh luar.
* Tidak terikat kepada perbezaan susun lapis masyarakat
* Mempunyai sistem yang lebih mudah berbanding dengan bahasa Jawa.
Banyak dipengaruhi oleh sistem bahasa Sanskrit. Bahasa Sanskrit kemudian dikenal pasti menyumbang kepada pengkayaan kosa kata dan ciri-ciri keilmuaan (kesarjanaan) Bahasa Melayu.
Bahasa Melayu mudah dipengaruhi Sanskrit kerana:
* Pengaruh agama Hindu
* Bahasa Sanskrit terletak dalam kelas bangsawan, dan dikatakan mempunyai hierarki yang tinggi.
* Sifat bahasa Melayu yang mudah dilentur mengikut keadaan dan keperluan.
Bahasa Melayu kuno pada batu-batu bersurat abad ke-7 yang ditulis dengan huruf Pallawa:
* Batu bersurat di Kedukan Bukit, Palembang (683 M)
* Batu bersurat di Talang Ruwo, dekat Palembang (684 M)
* Batu bersurat di Kota Kampur, Pulau Bangka (686 M)
* Batu bersurat di Karang Brahi, Meringin, daerah Hulu Jambi (686 M)
Bahasa Melayu kuno pada batu bersurat di Gandasuli, Jawa Tengah (832 M) ditulis dalam huruf Nagiri.
Ciri-ciri bahasa Melayu kuno:
* Penuh dengan kata-kata pinjaman Sanskrit
* Susunan ayat bersifat Melayu
* Bunyi b ialah w dalam Melayu kuno (Contoh: bulan - wulan)
* bunyi e pepet tidak wujud (Contoh dengan - dngan atau dangan)
* Awalan ber- ialah mar- dalam Melayu kuno (contoh: berlepas-marlapas)
* Awalan di- ialah ni- dalam bahasa Melayu kuno (Contoh: diperbuat - niparwuat)
* Ada bunyi konsonan yang diaspirasikan seperti bh, th, ph, dh, kh, h (Contoh: sukhatshitta)
* Huruf h hilang dalam bahasa moden (Contoh: semua-samuha, saya: sahaya)
Peralihan Bahasa Melayu Kuno Ke Bahasa Melayu Klasik
Peralihan ini dikaitkan dengan pengaruh agama Islam yang semakin mantap di Asia Tenggara pada abad ke-13.
Selepas itu, bahasa Melayu mengalami banyak perubahan dari segi kosa kata, struktur ayat dan tulisan.
Terdapat tiga batu bersurat yang penting:
a. batu bersurat di Pagar Ruyung, Minangkabau (1356)
* ditulis dalam huruf India
* mengandungi prosa melayu kuno dan beberapa baris sajakm Sanskrit.
* bahasanya berbeza sedikit daripada bahasa batu bersurat abad ke-7.
b. Batu bersurat di Minye Tujuh, Acheh (1380)
* masih memakai abjad India
* buat pertama kalinya terdapat penggunaan kata-kata Arab seperti kalimat nabi, Allah dan rahmat
c. batu bersurat di Kuala Berang, Terengganu (1303-1387)
* ditulis dalam tulisan Jawi
* membuktikan tulisan Arab telah telah digunakan dalam bahasa Melayu pada abad itu.
Ketiga-tiga batu bersurat ini merupakan bukti catatan terakhir perkembangan bahasa Melayu kerana selepas abad ke-14, muncul kesusasteraan Melayu dalam bentuk tulisan.
Bahasa Melayu Klasik
Kegemilangannya boleh dibahagikan kepada tiga zaman penting:
* Zaman kerajaan Melaka
* Zaman kerajaab Acheh
* Zaman kerajaan Johor-Riau
Antara tokoh-tokoh penulis yang penting ialah Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumaterani, Syeikh Nuruddin al-Raniri dan Abdul Rauf al-Singkel.
Ciri-ciri bahasa klasik:
* ayat: panjang, berulang, berbelit-belit.
* banyak ayat pasif
* menggunakan bahasa istana
* kosa kata klasik: ratna mutu manikam, edan kesmaran (mabuk asmara), sahaya, masyghul (bersedih)
* banyak menggunakan perdu perkataan (kata pangkal ayat): sebermula, alkisah, hatta, adapun.
* ayat songsang
* banyak menggunakan partikel ``pun'' dan `'lah''
KETUPAT MELAYU
oleh: M Muhar Omtatok
Bagi masyarakat Melayu Sumatera Timur, Ketupat merupakan juadah khas yang dibuat pada saat-saat khusus. Pada setiap Hari Raya Idul Fitri, ketupat menjadi juadah wajib yang hadir selepas sholat hari raya dan bermaaf-maafan.
Ada semacam pantang larang bagi orang Melayu Sumatera Timur, seorang anak yang belum pandai menganyam ketupat, tiada boleh memotong ketupat dengan pisau saat ingin memakan ketupat, ianya harus membuka anyaman ketupat satu demi satu. Hal ini mungkin saja bermakna, agar setiap anak mau belajar menganyam sarang ketupat.
Banyak jenis sarang ketupat dalam khazanah kuliner Melayu Sumatera Timur. Ada sarang Ketupat Bawang, Ketupat Nasi, Ketupat Burung atau Ketupat Palas.
Masakan dan bahan pembuatan ketupat disesuaikan dengan jenis sarang ketupat. Misalnya saja, membuat Lontong dengan memakai sarang ketupat.
Lontong selain menggunakan daun pisang, bagi orang melayu menggunakan sarang ketupat nasi. Sarang Ketupat Nasi yang telah dimasukkan beras yang telah dicuci dan direndam, sebanyak setengah ukuran sarang ketupat atau kurang dari itu. Setelah itu direbus didalam hingga seluruh isi sarang ketupat terpenuhi oleh beras yang menjadi lontong tersebut.
Ketupat Nasi atau ketupat lontong ini disantap dengan sate atau lauk pauk sayur, tauco, serundeng, sambal teri dan lainnya.
Untuk Ketupat Pulut menggunakan sarang Ketupat Bawang. Setiap hari raya Idul Fitri, Orang Melayu selalu menghidangkan Ketupat Pulut.
Sama seperti Lemang Pulut, ketupat pulut menggunakan bahan pulut (ketan) yang sudah dibersihkan, direndam dan ditiriskan. Lalu dimasukkan kedalam sarang ketupat bawang sebanyak ¾ bagian.
Di dalam kancah atau kuali, sarang ketupat bawang yang telah terisi pulut (ketan) tersebut, direbus dengan santan hingga terendam. Bubuhi garam dan daun pandan. Setelah mendidih dan santan mongering, ketupat pulutpun sudah selesai untuk disantap.
Ketupat Pulut biasanya dimakan begitu saja, atau dengan ‘kawan makan’nya. Kawan makannya biasa dengan rendang atau tape pulut hitam. Ada juga yang suka memakannya dengan gulai kepah.
Jika dipanasi, ketupat pulut tahan untuk beberapa hari. Ada juga yang suka memakan ketupat pulut ini dengan memanasinya hingga terasa kulitnya agak berbau gosong.
Kalau Ketupat Palas juga sama dengan ketupat pulut. Jika ketupat nasi atau ketupat bawang terbuat dari daun muda kelapa, maka sarang ketupat palas terbuat dari daun palas atau ada juga yang menggunakan daun muda rumbia atau daun muda nipah.
Berikut ini merupakan contoh menganyam sarang ketupat nasi:
1. Lilit Daun Muda Kelapa pada dua tangan
2. Kemudian sisipkan daun dari kanan ke kiri berselang-seli atas dan bawah. Lakukan proses ini untuk setiap gelungan.
3. Sekarang, rangka sarang ketupat nasi telah selesai. Tinggal dirapikan saja.
Diposkan oleh M MUHAR OMTATOK ber-Puak Melayu di 23:00
TEPUNG TAWAR & UPAH UPAH
Assalamualaikum kata bermula
Kepada Tuan serta Saudara
Cara berpantun hamba berkata
Untuk menghidupkan budaya kita.
Pulut kuning Pulut pengupah
Letak tersusun atas cerana
Hilang sedih gilang susah
Upah-upahlah pula jadi ubatnya.
Tepuk tepuk sibatang kayu
Sesat seekor siikan baung
Tepung tawar budaya Melayu
Datang semangat, elok diuntung
Upah-Upah dan Tepung tawar merupakan kegiatan yang sering di dengar pada saat orang pesta perkawinan di Melayu Sumatera Utara, Upah-Upah terutama ada di Asahan, Labuhan Batu dan sekitarnya.
Upah-Upah dan Tepung tawar sebenarnya merupakan dua kegiatan yang berbeda.
Tepung tawar dilakukan untuk mengikhlaskan semua kegiatan (segalanya menjadi Tawar), tak ada lagi yang tidak suka, tidak enak, apapunlah namanya.
Kalau di acara perkawinan maka semua yang menepung tawari secara tulus sudah mengikhlaskan segalanya untuk kedua mempelai. Tak ada lagi yang tak sesuai atau tak pantas.
Untuk menepung tawari dibutuhkan:
Ramuan Penabur
Bahan-bahan tepung tawar diletakkan di atas pahar (dulang tinggi) dan tempat terpisah-pisah seperti beras putih, beras kuning, bertih (padi digoreng), bunga rampai, dan tepung beras. Semua ini mempunyai makna yakni beras putih berarti lambang kesuburan,beras kuning berarti suatu kemajuan yang baik,bunga rampai bermakna keharuman nama dan tepung beras memiliki arti kebersihan hati.
Ramuan Perincis
Ramuan perincis untuk tepung tawar terdiri dari semangkuk air, segenggam beras putih dicampur jeruk purut (limau mungkur) diiris-iris. Juga satu ikat bahan tepung tawar terdiri dari 7 macam bahan yakni: daun kalinjuhang (lambang tenaga magis kekuatan ghaib), daun pepulut atau pulutan (lambang kekekalan sesuai sifatnya yang lengket),daun ganada rusa (lambang perisai gangguan alam), daun jejeruan (lambang kelanjutan hidup sebab sukar dicabut), daun sepenuh(lambang rezeki), daun sedingin (lambang menyejukkan, ketenangan, kesehatan), rumput sambau dan akarnya (lambang pertahanan karena akarnya sukar dicabut).
Pedupaan
Dalam acara tepung tawar juga disediakan pedupaan (dupa) tempat kemenyan atau setanggi dibakar yang tujuannya untuk wewangian saja.
Cara Menepung Tawar
Orang yang hendak ditepungtawar biasanya didudukkan pada tempat khusus semacam peteraana. Di atas kedua pahanya diletakkan kain panjang untuk menjaga kemungkinan tidak kotor atau basah oleh air tepung tawar. Lalu, si penepung tawar mengambil sedikit-sedikit bahan-bahan tepung tawar. Setelah itu diambil ikatan daun tepung tawar dan dicelupkan ke air tepung tawar dan disapukan di telapak tangan.
Setelah itu, orang yang ditepungtawari (jika lebih muda) mengangkat kedua tangannya (menyembah) kepada yang menepung tawari. Tetapi jika yang ditepungtawari orang lebih tua atau berpangakat, makan yang menepungtawari yang mengangkat tangan sebagai tanda penghormatan atau terimakasih. Jumlah orang yang menepung tawar biasanya 7 orang dan jika tidak ada yang berpangkat didahulukan orang yang tertua untuk melakukan pertamakali.
Dipantang larangkan jika yang menepung tawari bertutur lebih muda, juga berpantang orang yang sedang hamil menepungtawari.
Balai/Bale
Balai dinamakan juga pulut balai bagi masyarakat Melayu sangat penting. Keberadaannya dalam setiap upacara adat tidak bisa ditinggalkan dan menjadi kehormatan dan kebanggaan bagi yang menerima atau memberi balai. Balai dibuat dari kayu berkaki empat dan tingkatnya ada yang 3 atau 7 dan setiap tingkat berisi pulut kuning sebagai lambang kesuburan dan kemuliaan. Pada tingkat paling atas dari balai biasanya diletakkan panggang ayam sebagai lambang pengorbanan atau pun inti (kelapa parut dimasak dengan gula aren). Setiap tingkat dari balai tersebut diletakkan telur dibungkus kertas minyak yang sudah dihias dan bertangkai lidi, kemudian dipacakkan ke pulut balai.
Setelah itu balai diletakkan di tengah-tengah majelis sehingga memperindah pemandangan. Biasanya jika acara seremonial seperti perkawinan, bunga telur dibagi-bagi kepada undang yang hadir, bisanya peserta marhaban jika acara itu memanggil kelompok marhanam. Demikianlah sekelumit adat istiadat tepung tawar Melayu Serdang yang masih tetap dilestarikan hingga sekarang.
Upah-Upah, dilakukan untuk suatu kebanggaan, menjemput semangat, memberi motivasi. Makanya ada banyak macam upah-upah diantaranya :
Upah-Upah saat perkawinan : agar yang menikah memiliki semangat untuk membina hidup baru
Upah-Upah saat khitanan : agar yang dikhitan memiliki semangat kembali dan tidak menjadi semacam kapok begitu.
Upah-Upah Songgot/Terkejut : dilakukan kepada orang yang baru mendapat musibah, kecelakaan, sakit dsb. biasanya yang di upah-upah tidak tahu bahwa dia bakal-diupah-upah
Upah-Upah memanggil semangat : dilakukan kepada orang yang sakit, agar dia memiliki semangat dan memiliki semangat untuk sembuh.
Upah-Upah biasanya dilakukan dengan menggunakan Pulut Bale, merupakan suatu tempat yang terbuat dari kayu memiliki kaki 4 buah dan tempat yang bertingkat-tingkat. di dalamnya ada pulut yang diberi kunyit sehingga berwarna kuning, di atasnya ada ikan bakar/ayam bakar, pada pulut ditancapkan Merawal (bendera kertas) dan digantung telur ayam. Dipuncaknya ditancapkan Kepala Balai.
Namun secara sederhana dapat juga dilakukan dengan menggunakan cerana/Talam letakkan pulut yang direndam kunyit di atasnya di taruh telur ayam.
BaleBahan Tepung TawarWaktu mengupah-upah biasanya Bale/Piring tadi diangkat dan diputarkan di atas kepala orang yang diupah-upah. Menyampaikan kata-kata upah-upahUpah-Upah diawali dengan menyampaikan pesan-pesan atau biasa di sebut dengan KATA-KATA UPAH-UPAH, dan diakhiri dengan menyarungkan kain sarung.
Bila upah-pah dengan menepung tawari maka penyarungan kain sarung dilakukan setelah menepung tawari selesai.
Memutarkan Bale di Atas KepalaTepung Tawar terdiri dari beberapa macam yang ditempatkan di dalam piring, ada air mawar, tepung kuning, tepung putih, bertih (beras yang dibuat seperti popcorn), beras kuning (diberi kunyit), bunga rampai.
Melakukan rinjis-rinjis Pelaksanaan Tepung tawar dimulai dengan melakukan rinjis-rinjis yaitu menepiskan air mawar ke tangan atau badan yang di tepung tawari, Mengoleskan tepung tawar kemudian Oleskan tepung putih yang telah dicampur dengan tepung yang kuning ke muka atau tangan orang yang ditepung tawari. Menaburkan bunga rampai lalu Taburkan bunga dan beras kuning di kepalanya. Menyarungkan kain pelekat. Sarungkan kain pelekat yang sejak awal kita pakai untuk upah-upah. Terakhir taburkan bertih di kepalanya.
Di sekitar Labuhan batu, upah-upah menggunakan bahan lain juga berupa kepala kambing.
“Uuupah – upah satu duo tigo…uuupah –upah ….kuuur semangat….”
Diposkan oleh M MUHAR OMTATOK ber-Puak Melayu di 23:08
PERMAINAN ANAK MELAYU DENGAN BERLAGU
Tengoklah emak menyulam kain
Tiada lupa memasak pengat
Tengoklah budak pabila bermain
Tiada sedih badanpun kur semangat
oleh: M Muhar Omtatok
Permainan anak-anak tradisional, terasa hilang kini, berganti dengan permainan import yang mengajarkan individualisme dan naluri menyerang, seperti play station, game online dan sebagainya.
Hj. Rosmalina, Pemerhati soalan Melayu di Tebingtinggi, mengatakan bahwa permainan anak-anak tradisional boleh membangkitkan rasa kerja sama dan penyesuaian diri yang baik karena terbiasa melakukan sesuatu bersama-sama. Sebagai makhluk sosial, kita pasti membutuhkan kehadiran orang lain dalam hidup kita. Tak mungkin segalanya dapat dilakukan sendiri. Sekecil apapun bantuan orang lain sangat berperan dalam hidup kita.
Selanjutnya Hj. Rosmalina berpendapat, “Permainan budak-budak masa lampau, boleh melatih tubuh lebih sehat dan kreatif. Budak-budak lampau bermain dengan riangnya, sambil bergerak seimbang. Tak macam budak kini, cuma terconggok di depan monitor seorang diri, macammana pula kelak mereka sanggup berhadapan dengan orang banyak, ditambah lagi tubuh tiadalah mungkin terbiasa, bergerak, budak-budak kini jadi pelesuh”.
Dalam tradisi budaya permainan anak-anak, sangat banyak jenis permainan yang tercipta. Sebut saja Congkak, Seremban/Serimbang/Selambut, alif jongkok, alif cendong, alif ba ta liun, alif berondok, galah asin/bilun, sambar elang, menyelam di sungai, gasing, layang-layang/wau, yoyo, kumkum, engklek dan sebagainya.
Ada pula permainan anak-anak Melayu dengan mengujarkan lagu-lagu tertentu saat bermain. Disini saya coba berikan sedikit, sesuai ingatan saya.
a. Wak Udin
Dalam permainan ini, satu anak bersujud, anak-anak yang lain meletakkan sebuah telapaknya pada tubuh belakang anak yang bersujud tadi. Seorang anak menggenggam sesuatu dan memindahkan sesuatu itu pada telapak tangan tiap-tiap anak secara berurutan. Saat memindahkan sesuatu yang digenggam tersebut, dinyanyikanlah lagu ‘Wak Udin’ hingga selesai. Lalu disuruhlah anak yang bersujud menebak, di tangan siapa jatuhnya sesuatu benda tersebut, setelah semua anak menggenggam tangannya.
Ini lagunya:
“Wak wak Udin, Wak Udin hendak kawin. Potong kerbau pendek, potong kerbau panjang. Cak guncil lewe lewe… cak guncil lewe lewe…”
b. Panjang Pendek
Permainan ini menggunakan dua belah telapak tangan yang disatukan. Seolah bermain wayang, jari-jari menjadi anak wayang. Jari tengah menjadi Si Panjang, jari manis berperan menjadi Anak, jari telunjuk menjadi Emak. Disini terjadi dialog antara Anak dan Emak. Saat anak bertanya kepada Emak, maka jari manis kedua tangan menari bersilang-silang, begitu juga jika Emak berbicara, maka jari telunjuk menari bersilang – silang, Jari tengah juga demikian jika Si Panjang merasa senang. Dua ibu jari diletakkan di ujung dagu saat permainan dilakukan.
Jika tarian jari yang bersilang-silang terjadi kesalahan atau tidak cepat menari bersilang-silang, maka permainan digantikan anak yang lain.
Ini lagunya:
Jari Manis: “Emak…Emak, Potong si Panjang ni…”
Jari Telunjuk: “Mengapa dia dipotong”
Jari Manis: “Takut aku sama dia”
Jari Telunjuk : “Banyak orang di dunia ni, panjang pendek serupa saja”
Jari Tengah: “Pak pong…Pak Pong…Pak pong pak pong pak pong…”
c. Hantu Dengut
Hantu Dengut: “Mana emakmu?...”
Budak:”Pegi ke pasar”
Hantu Dengut:”Menjual apa?”
Budak:”Menjual bubu”
Hantu Dengut:”Mana bubunya?”
Budak:”Di atas atap”
Hantu Dengut:”Boleh kumakan?”
Budak:”Makanlah”
Ngut ngut hantu dengut…ngut ngut hantu dengut ..
Ngut ngut hantu dengut…ngut ngut hantu dengut ..
d. Tong Along Along
“Tong Along along, kericing riang-riang, Ketapang kuda palong, arak arak minyak arab, pecahkan telur sebijik…taaarrr…”
Saat melagukan, anak-anak yang terdiri dari 3 atau 4 orang duduk melingkar sambil mengepalkan tangan dan disusun bertingkat. Tangan bergoyang goyang, hingga bait terakhir pada lagu, yaitu ‘taaarrr’ maka kepalan paling bawah terbuka.
Sambil semua kepalan terbuka, bersama-sama mengangkat dan menurunkan tangan yang bersatu itu. Kemudian anak anak bernyanyi lagu berikut;
e. Ram Ram Pisang
“Ram ram pisang, pisang masak sebiji, bawa gonggong bawa lari. Bak…bak buuur…”
Kedua belah tangan masing-masing diangkat keatas, tetap dalam kesatuan, seolah-olah melarikan sesuatu. Permainanpun berakhir sambil bersorak sorai.
f. Lemang Semambu
Empat atau 5 anak duduk melingkar. Kedua tangan diletakkan ke lantai. Seorang anak menjadi pemimpin dan menekankan hanya tangan kirinya ke lantai. Tangan kanannya difungsikan sebagai penjamah. Tiap-tiap tangan kawan-kawannya, sambil berlagu:
“Mang semambu, kuala sambau. Hujan nunut, mandi katong. Sirih rabit, pinang jawi. Sintak peluk Tuan Putri Enam Dewa”.
Setiap suku kata dari lagu diatas, tangannya menjamah bergiliran. Tangan yang terjamah pada akhir lagu, menjadi bebas dan diangkat pada dada yang bermain. Jika tangan yang sebelah lagi terjamah pada akhir lahu, maka diletakkan di atas kepala.
Lagu berulang-ulang sampai seluruh anak eletakkan tangan di dada dan kepala. Kemudian bergiliran, anak yang menjadi pemimpin bertanya:
Pemimpin: “Apa dijunjung?”
Jawab: “Bakul”
Pemimpin: “Apa dijurus?”
Jawab: “Rotan”
Pemimpin: “Apa kilik?”
Jawab: “Sumpit”
Pemimpin: “Apa tungkat?”
Jawab: “Lemang”
Ketika si anak ditanya, tangan yang di kepala di letakkan di dada dan dipeluk erat. Lalu pemimpin berbuat seolah-olah mencincang tangan kawannya, sambil berlagu:
“Pak…pak…si pungguk, si pungguk mati akar, Tuan Haji ke padang, bersunting daun, sehari tak dipandang serasa setahun”.
Kemudian dia bertanya pula kepada kawannya:
“Peti besi atau peti kayu?”
Jawab: Peti besi (jika dijawab “peti kayu” berarti menyerah kalah)
Pimpinan: “Mana kuncinya?”
Jawab: “Jatuh ke lubuk”
Pimpinan: “Kalau diselam?”
Jawab: “Merah mata”
Pimpinan: “Kalau disuduk?”
Jawab: “Patah suduk”
Pimpinan: “Kalau dijala?”
Jawab: “Koyak jala”
Mendengar jawaban tersebut, pimpinan berkata, “Kalau begitu, lebih baik diselam saja…ngup!”, dengan sekuat tenaga pemimpin menarik tangan, dan yang ditarik mempertahankan pelukannya.
Jika terbuka, ia menunjukkan telunjuknya sambil berujar, “ini kuncinya”, maka dia menjadi pemenang dan mendapat Tuan Putri Enam Dewa.Permainan ini bisa sampai berguling guling dan menjadi tertawaan kawan yang lain.
g. Rangkai Rangkai Periuk
Seluruh tangan berkaitan sesama kelingking bergerak turun naik, sambil berlagu:
“Rangkai, rangkai periuk, Periuk dari jawa, Sumbing sedikit terantung tiang para, wak wak wit…siapa ketawa kena cubit”
Lingkaran yang terkait tadipun diputuskan, lalu masing-masing menutup mulut menahan tawa. Jika ada yg tersenyum nyaris tertawa, maka yg disampingnya mencupit seperti menggelitiki.
Yang kena cubit bertanya, : “Kenapa saya dicubit?”
Jawab: “Curi lada saya”
Tanya: “Mana budak kata?”
Lalu ditunjuk oleh yang mencubit, salah seorang anak yang ikut bermain. Lalu yang kena cubit mencubit anak yang ditunjuk. Lalu muncul pertanyaan dan jawaban seperti diatas, begitu seterusnya hingga saling menunjuk. Sampai semua saling mencubit setengah menggelitik.
Masih banyak lagi jenis lagu dibuat untuk permainan anak-anak Melayu. Misalnya saja ada sebuah permainan yang diberikan orangtua atau anggota ,keluarga kepada bayi yang baru bias duduk, yaitu dengan mengajarkannya membuka jari jemari dan menutup kembali jari jemarinya, sambil bernyanyi berulang ulang:
“Minta cekur udang gemit. Minta cekur bagai kunyit”
Untuk melatih anak agar tidak celat dan bias menyebut huruf “r”, maka dibuat mainan lagu yang diucapkan berulang-ulang hingga fasih:
“Ular menjalar di pagar wak umar”
Ada pula permainan untuk bayi, dengan menyentuh nyentuhkan telapak si bayi dengan telunjuk, terus ke lengan, sambil berlagu dan tersenyum:
“Cuk…cuk melukut, berambang gentang, dimana tikus nyuruk, di bawah batang”
Ketika kata di bawah batang maka telunjuk diarahkan ke ketiak si bayi sambil setengah menggelitik, hingga bayi tertawa-tawa.
Ada pula saat bayi sedang terduduk atau mulai pandai berdiri, maka si ibu atau anggota keluarga mengajaknya bermain dengan menepuk-nepuk dua tangan, sambil berlagu:
“Pok amai amai belalang kupu kupu, bertepuk kita pandai diupah air susu. Susu lemak manis santan kelambir muda, anak usah nangis diupah tanduk kuda. O, kuda…O, kuda…orang betanduk, engkau tidak, alih bertanduk bercabang tiga”.
Ada pula bayi diajak bermain dengan menimangnya, sambil melagukan, diantara baitnya antara lain:
“Timanglah tinggi tinggi, timang keatas atap. Belumlah tumbuh gigi, sudah pandai membaca kitab.
Timanglah tinggi tinggi,naik duri nipah. Belum tumbuh gigi, sudah tahu minta cepah.
Mang sigalimang, timang kepala labu. Asik kita bertimang, tak tentu kain baju”.
Masih banyak jenis permainan anak Melayu yang dilakukan dengan berlagu, inilah khazanah moyang yang tiada boleh lesap tertelan permainan yang tak berfaedah.
"Cak cak uncang anak elang bidadari, habis kau uncang larikan ke tepi, injik injik batang terinjik pokok padi, pabila Atok datang membawa parang panjang, buat apa parang panjang, penebas buluh telang, buat apa buluh telang, pembuat tali leher, buat apa tali leher, penjerat kuda belang, buat apa kuda belang, buat mainan anakku, siapalah namanya, Budak Melayulah namanya….
Diposkan oleh M MUHAR OMTATOK ber-Puak Mela
Tidak ada komentar:
Posting Komentar